Dua Kekeliruan SAS Terkait Politik Identitas dan Aksi 212

Mediaumat.info – Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menyebut ada dua kekeliruan pernyataan Said Aqil Siradj (SAS) yang menyebut ‘fenomena 212 lahir karena adanya praktik politik identitas’ dan ‘praktik politik identitas dengan menggunakan agama merupakan hal yang haram dalam Al-Qur’an’.

“Ada dua kekeliruan pernyataan Said Aqil Siradj (SAS) terkait politik identitas dan aksi 212,” ujarnya kepada media-umat.info, Selasa (19/3/2024).

Pertama, setiap Muslim justru diperintahkan Allah SWT untuk mengikatkan diri dengan agamanya, dan menjadikan Islam sebagai sikap dalam segala hal termasuk berpolitik.

Iwan menyebut, dalam QS Ali Imran ayat 64, Allah SWT memerintahkan setiap orang Islam untuk mendeklarasikan diri sebagai Muslim.

Sehingga kata Iwan, menyuruh umat untuk tidak berpolitik identitas sama artinya menyuruh umat untuk melepaskan diri dari Islam.

“Lalu dengan apa umat berpolitik? Sekulerisme dan demokrasi, itu mau mereka. Padahal sekulerisme dan demokrasi itu adalah pangkal dari kerusakan hidup bangsa selama ini,” ucapnya.

Kedua, seruan meninggalkan politik Islam dan menuju keindonesiaan justru bertabrakan dengan seruan Al-Qur’an yang mengajarkan prinsip hidup universal, ukhuwan Islamiyyah.

Iwan membeberkan, ajaran Islam itu lebih luas, universal ketimbang paham primordialisme kebangsaan apalagi kesukuan. Dengan Islam, maka sekat batas antar suku dan bangsa dihapuskan, melebur dalam akidah dan ukhuwah islamiyyah. Sedangkan primordialisme kesukuan dan kebangsaan justru berpotensi melahirkan chauvinisme dan sikap ultra-nasionalisme yang dalam sejarah jauh lebih banyak menimbulkan konflik dan permusuhan antar bangsa di dunia.

Terakhir, soal shalat di jalan, Iwan melihat itu persoalan fikih dan furu’iyyah yang sudah tuntas dibahas para ulama mazhab sejak lama dan tidak perlu dipersoalkan lagi.

Ia mempertanyakan, kenapa malah tidak mempersoalkan yang jelas qath’iy seperti kewajiban melaksanakan ekonomi syariah, pidana sesuai syariah, politik sesuai syariah. Tapi kenapa malah anteng saja dengan KUHP warisan Romawi, dengan sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem sosial liberalisme-hedonisme, sistem politik kuno demokrasi ala Yunani kuno.

“Itu yang harusnya dipertanyakan dan diubah,” pungkas Iwan. [] Agung Sumartono

Share artikel ini: