Oleh: Hadi Sasongko (Political Grassroots)
Pemerintah telah mengumumkan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Premium, namun akhirnya dibatalkan selang sejam kemudian, Rabu (10/10/2018). Namun pengumuman ini ditangkap secara politis oleh kubu petahana. Pada Rabu (10/10), Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sempat menyatakan harga premium resmi naik pukul 18.00 WIB di seluruh Indonesia. Kenaikan dinilai bisa membantu menahan pelemahan nilai tukar rupiah.
Dilansir dari cnnindonesia.com, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin, Arsul Sani menilai pihak di luar pemerintahan Presiden Joko Widodo sedih harga premium tak naik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 .Menurutnya, isu naiknya harga BBM bisa jadi komoditi politik untuk diolah kubu oposisi di tahun politik ini.”Kalau tidak naik yang paling kecewa oposisi. Teman luar pemerintah kecewa enggak jadi naik, enggak ada gorengan besar, jadinya gorengan kecil,” kata Arsul di Kompleks DPR/MPR, Kamis (11/10). (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181011141141-32-337657/kubu-jokowi-oposisi-kecewa-harga-premium-tak-jadi-naik)
Kubu oposisi berargumen lain. Dilansir dari detik.com, PAN mengumbar canda soal pembatalan yang bisa membuat Menteri ESDM Ignasius Jonan jadi tersangka kasus hoax. “Jika memakai terminologi sekarang, harusnya Menteri Jonan bisa dikenakan pasal-pasal hoax he he he. Periksa Jonan dong Pak Polisi,” kelakar Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo kepada detikcom, Rabu (10/10/2018). (https://news.detik.com/berita/d-4250912/canda-pan-soal-premium-batal-naik-jonan-bisa-kena-pasal-hoax)
Sebuah Kenyataan
Saat ini kenaikan harga baru terjadi pada BBM non penugasan yaitu Pertamax menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Pertamina Dex Rp 11.850/liter. Masyarakat merasakan imbasnya.
Terkait ‘kekurangmatangan’ keputusan pemerintah ini, perlu kita renungkan. Kita sedang hidup di era dimana terdapat tradisi politik demokrasi yang sudah menunjukkan tanda-tanda bangkrut secara moral dan politik. Perjalanan waktu yang terus bergulir, semakin menunjukkan kebangkrutannya. Tidak lagi bisa ditutupi. Kepemimpinan pemerintahan yang bertangan besi dimanapun telah kehilangan legitimasi secara moral dan politik.
Kebijakan yang sangat menyengsarakan rakyat, dan tidak memiliki kepedulian terhadap nasib rakyat jelata. Dulu hanya kurang dari satu bulan usai dilantik Jokowi sudah menaikkan BBM. Kenaikan BBM yang diambil Jokowi itu sudah membuat dampak yang sangat luas, dan sangat membebani rakyat. Semua harga kebutuhan pokok naik. Tidak terjangkau oleh rakyat jelata yang berpenghasilan rendah.
Ironi Demokrasi
Adapun niat pemerintahan yang berkecenderungan kebijakannya ekonominya lebih bersandar kepada ‘NEOLIB’ akan ditinggal umat. Di mana mengambil kebijakan melakukan liberalisasi di sektor ekonomi dan perdagangan. Hal ini tergambar dengan kebijakan di bidang energi (minyak). Di mana harga minyak di dalam negeri (BBM) diserahkan kepada pasar. Jadi harga minyak dalam negeri (BBM) fluktuasinya ditentukan oleh harga minyak dunia.
Dalam ruang publik di negeri ini, sistem pemerintahan seakan berjalan bukan untuk kepentingan, keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan kemandirian rakyatnya. Sebagian pengamat berargumen rezim berjalan untuk kepentingan asing ataupun aseng. Lalu dalih-dalih berkedok hukum digunakan dalam rangka mempelancar proyek-proyek penyokong. Kepentingan menjadi poros dalam roda pemerintahan.
Big False
Politik berjalan dengan prinsip mencari kesempatan agar meraih keuntungan besar demi kepentingan pihaknya. Inilah politik oportunistik dan pragmatis yang sedang terjadi di negeri ini. Asal satu kepentingan demi keuntungan, pihak-pihak yang dulu “perang” bisa lengket seakan tidak bisa terpisah. Juga sebaliknya, ketika saatnya berbeda kepentingan, komitmen politik yang dibangun bersama, bisa pecah dan menjadi seperti “musuh” dalam politik.
Rasanya begitu sempurna ironi terjadi di negeri ini, sudahlah perilaku para pemangku kekuasaan tidak menunjukkan sikap negarawan sejati. Ditambah dengan sistem politik yang berlaku saat ini adalah demokrasi–liberal. Dimana sumber utama dan prinsip utamanya adalah sekulerisme (faslu ad-din ‘anil hayah) atau memisahkan agama dari kehidupan. Islam tidak akan diberikan porsi semestinya. Bahkan sebisa mungkin Islam tidak boleh masuk dalam sistem perpolitikan. Islam akan dijauhkan dengan politik. Politik akan diidentikkan seakan urusan dunia yang tidak membutuhkan peran agama. Dan ini adalah sekulerisme. Semua ini adalah salah besar, karena justru Islam yang akan menyelamatkan setiap urusan manusia, termasuk dalam politik.[]