Dua Faktor Penyebab Dibakarnya Al-Qur’an di Swedia-Denmark

Mediaumat.id – Pengamat Politik Dr. M. Riyan, M.Ag. menegaskan ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya pembakaran Al-Qur’an di Swedia oleh politisi Swedia-Denmark Rasmus Paludan.

“Saya melihat ada dua faktor mengapa terjadi hal tersebut, yaitu faktor internal terkait pelakunya (islamofobia) dan faktor eksternal terkait sistem dan penguasa sekuler,” tegasnya dalam Live: Al-Qur’an Dibakar, di mana Wibawa Global Umat? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Sabtu (28/1/2023).

Pertama, faktor internal, yakni terkait dengan pelakunya di mana akarnya adalah kebencian terhadap Islam atau islamofobia. Menurutnya kebencian tersebut bahkan sampai pada titik tertentu, yakni fobia khilafah dan fobia syariah, baik dari Muslim dan orang-orang kafir.

“Kalau orang-orang kafir mungkin kita bisa tanda kutip memahami, tetapi kalau seorang Muslim yang faktanya ada dan ini tentu karena pemahaman yang sangat dangkal terhadap Islam sebagai ajaran yang mereka yakini,” tuturnya.

Melihat lebih rinci lagi terhadap faktor internal ini (islamofobia), ia mengatakan bahwa pelaku sebenarnya menyebarkan ketakutan di tengah-tengah publik. Fobia menurut kamus Merriam-Webster merupakan ketakutan yang berlebihan, biasanya tidak dapat dijelaskan dan tidak logis terhadap objek atau sesuatu tertentu. Mungkin sulit bagi yang menderita untuk cukup menentukan atau mengomunikasikan sumber ketakutan itu, tapi itu ada. Dalam beberapa tahun terakhir, fobia spesifik mencengkeram masyarakat Barat, islamofobia.

“Ketakutan yang berlebihan, kebencian, dan permusuhan terhadap Islam dan Muslim yang dilestarikan oleh stereotip negatif yang mengakibatkan bias, diskriminasi dan marginalisasi, pengadilan Muslim dari kehidupan sosial, politik, dan sipil,” katanya.

“Walaupun PBB telah menetapkan Hari Antiislamofobia tapi kita bisa melihat hal tersebut belum berhenti, bahkan survei yang dilakukan lembaga survei di Amerika menyebutkan bahwa lebih dari 52 persen di Amerika tidak respek kepada kaum Muslim,” tambahnya.

Bahkan, menurut Riyan, islamofobia di Barat saat ini, seperti negaranya Paludan yang menganggap pembakaran Al Qur’an sebagai tindakan tidak respek kepada Islam. Dan 50 persen islamofobia karena faktor agama, dalam hal ini Islam dan hubungan dengan agama lain dan politik. “Artinya memang Islam dijadikan objek yang ditakuti,” ujarnya.

Kedua, faktor eksternal, yakni terkait sistem dan penguasa yang sekuler. Dengan dalih kebebasan berpendapat ala demokrasi, digunakan atau dijadikan sebagai pintu masuk terhadap berbagai pembakaran Al-Qur’an, penghinaan bahkan pelecehan terhadap agama Islam itu sendiri.

“Saya ingin katakan bahwa kebebasan berpendapat, kebebasan berbicara (freedom of speech) itu adalah mitos dalam demokrasi ketika menyangkut Islam dan kaum Muslimin. Apa yang dilakukan Poludan itu berkali-kali dan tidak pernah ada tindakan yang serius,” kritiknya.

Menurutnya, sikap yang ditunjukkan oleh PBB dan para penguasa negeri seperti kecaman terhadap berbagai kejadian yang menyangkut islamofobia, tapi tidak ada tindakan serius, itu disebut hipokrit.

“Jadi ini kemunafikan demokrasi atas nama kebebasan berpendapat tadi. Mereka ke mana-mana jualan freedom tapi sesungguhnya mereka sendiri adalah pelaku intoleransi itu sendiri,” pungkasnya.[] Ageng Kartika

Share artikel ini: