Dr. Rahmat Kurnia: Ijazah Tak Bisa Lepas dari Sejarah Peradaban Islam

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Dr. Rahmat Kurnia menegaskan, ijazah tak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban Islam.
“Kalau kita bicara ijazah ini kan tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban Islam,” tuturnya dalam Perspektif PKAD – Menaker: Ijazah Bukan Hal Penting, Sekolah & Universitas Dapat Dibubarkan?! melalui kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Kamis (20/10/2022).
Menurutnya, manuskrip sejauh yang ia baca, pertama kali ijazah diberikan kepada pembelajar di Universitas Al-Qarawiyyin Maroko. “Universitas itu dulu dibangun oleh Fatimah Fihri. Unesco pada waktu itu menobatkannya sebagai universitas tertua di dunia serta memberikan ijazah yang resmi sebagai tanda kelulusan bagi para siswa,” bebernya.
Tradisi Muslim ini, sambung Rahmat, ditiru dan diaplikasikan di beberapa universitas di Italia, di Oxford Inggris yang dikembangkan pada abad ke-11 dan ke-12, kemudian berkembang terus sampai ke seluruh dunia. “Jadi ijazah itu bukan suatu hal baru,” bebernya.
Sejarah menunjukkan ijazah terus digunakan selama ratusan tahun. Karena itu, simpul Rahmat, pasti ada urgensinya. “Ijazah adalah produk dari sebuah proses pendidikan,” tukasnya.
Ia mencontohkan, dalam pendidikan nasional dikatakan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta bertanggung jawab.
“Kalau kita lihat dari situ saja, pendidikan itu minim kaitannya dengan pekerjaan tapi lebih kepada pembentukan kepribadian dan karakter. Kalau kita berbicara kepribadian di situ ada unsur berpikir (aqliyyah) yang harus dibina, di situ ada unsur sikap jiwa (nafsiyyah) yang harus dibina yang akan melahirkan perilaku,” simpulnya.
Artinya, ijazah bukan sekadar tanda kelulusan tetapi tanda bahwa dia telah mengalami sebuah proses pendidikan dalam jenjang tertentu. “Sayangnya yang dicantumkan dalam ijazah hanya angka-angka dari pelajaran tertentu, tidak mencerminkan proses dan tidak mencerminkan kompetensi,” kritiknya.
Karena ijazah tidak mencerminkan proses dan kompetensi, ucap Rahmat, wajar yang kebingungan adalah Kementerian Tenaga Kerja sehingga mengatakan ijazah bukan hal penting. “Artinya persoalan dunia ketenagakerjaan buhulnya ada di situ,” cetusnya.
Rahmat mengkritisi pernyataan ‘ijazah tidak penting karena bisa otodidak’. “Memang ada Pak Adam Malik yang hanya lulusan SD tapi sukses bahkan pernah menjadi ketua sidang Majelis Umum PBB di New York juga sebagai wakil presiden, tapi orang yang bisa otodidak seperti Pak Adam Malik jumlahnya sangat sedikit,” ungkapnya.
“Artinya kalau mengatakan ijazah itu tidak penting ini juga tidak memungkinkan karena tidak semua orang bisa otodidak,” tegasnya.
Demikian pun, lanjut Rahmat, pernyataan bahwa cukup dengan sertifikasi kompetensi juga perlu dikritisi. “Ingat ada pekerjaan yang sifatnya praktik tapi ada pekerjaan yang sifatnya itu bukan hanya praktik tapi perlu daya analitik, perlu berpikir praktis yang itu tidak digambarkan di dalam sertifikasi kompetensi, tapi bisa-bisa diwakili dengan bahwa dia pernah menempuh pendidikan S1, menempuh pendidikan S2, menempun pendidikan S3, menempuh pendidikan SMA SMP SD itu tergambar,” bebernya.
Dan itu, lanjutnya, tergambarnya bukan dari segi prosesnya karena kan tidak ada di ijazah, tapi ijazah itu bisa dianggap mewakili bahwa dia pernah mengalami proses yang mestinya dialami di sekolahnya.
“Berdasarkan hal itu maka saya lihat ijazah itu menjadi sangat penting di samping tentu saya juga setuju sertifikasi kompetensi itu juga sangat penting,” tandasnya.
Mengabdi pada Industri
Rahmat mengingatkan, jangan sampai ijazah ini dipandang hanya untuk bekerja sehingga dunia pendidikan mengabdi kepada dunia industri. “Ini tidak boleh! Sehingga slogan knowledge based economy itu semestinya enggak boleh terjadi,” tegasnya.
Jika seperti itu, kata Rahmat, menunjukkan bahwa ada sistem industri yang mengarahkan dunia pendidikan, ini yang mesti diubah.
“Pemerintah perlu punya visi pendidikan yang besar bukan sekadar penyedia tenaga kerja. Istilah link and match itu mestinya tidak seperti itu karena penyedia tenaga kerja hanya sebagian kecil dari sebuah proses pendidikan,” kritiknya.
Menurut Rahmat, dunia pendidikan harus memiliki dua arah. Satu arah pendidikan yang clear dan yang kedua arah pembangunan ekonomi yang clear. “Kalau arah pembangunan ekonomi ini jelas dan diarahkan oleh negara maka swasta akan mengikuti arah ini. Dengan pendidikan yang dirumuskan oleh pemerintah dia akan kompatibel dengan arah pembangunan ekonomi dan industri yang juga di-create oleh pemerintah,” urainya.
Masalahnya sekarang ini korporatokrasi yang mengarahkan. “Ketika arah ekonomi ini diarahkan oleh oligarki maka dunia pendidikan akan ditarik untuk mengabdi kepada kepentingan bisnis,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun