DPR Desak Pemerintah Copot LTH, Peneliti Ungkap Persoalan Belit BRIN
Mediaumat.id –Pakar Riset Sistem Informasi Spasial Prof. Dr. -Ing. Fahmi Amhar mengungkapkan persoalan yang membelit Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di tengah munculnya rekomendasi dari Komisi VII DPR RI kepada pemerintah untuk memberhentikan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.
“Persoalan adaptasi dari sekian banyak unit riset yang memiliki latar belakang, kebutuhan, dan budaya riset yang berbeda-beda,” ungkapnya kepada Mediaumat.id, Selasa (31/1/2023).
Adalah empat lembaga riset nasional yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (LAPAN), yang melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), keempat lembaga penelitian itu dilebur ke dalam BRIN.
Menurutnya, sebelum dilebur ke dalam BRIN, hanya LIPI yang relatif sudah memiliki budaya riset lebih baik. Sementara, Laksana Tri Handoko (LTH) sebelum manjadi kepala BRIN, ia menjabat sebagai Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sebelumnya pula menjabat deputi ilmu pengetahuan teknik LIPI.
“Dulu di LIPI juga sempat timbul gejolak ketika beliau melakukan langkah-langkah efisiensi. Nah sekarang efisiensi ini diterapkan di seluruh BRIN,” beber Fahmi.
Namun terlepas dari hasil rapat dengar pendapat (RDP) antara DPR dan BRIN sehingga muncul rekomendasi pemberhentian LTH, Fahmi mengungkapkan beberapa langkah efisiensi yang menurutnya drastis lantas diterapkan di BRIN. Pertama, penyatuan (sentralisasi) seluruh infrastruktur riset (lab-lab dan instrumentasi).
Menurutnya, hal ini dikarenakan banyaknya jumlah unit yang memiliki berbagai alat serupa namun utilitasnya rendah. “Ada kapal riset yang cuma berlayar sebulan dalam setahun, ada instrumen canggih yang cuma terpakai tiga sampai empat kali dalam setahun,” bebernya.
Selain itu perawatan alat-alat itu pun sangat mahal, tetapi dikuasai segelintir peneliti saja yang kadang, kata Fahmi, minatnya berubah.
Kedua, rasionalisasi anggaran yang menyentuh komponen bahan dan perjalanan (ekspedisi) yang menjadi skala pekerjaan suatu riset. “Kini nilai anggaran tiap proposal riset menjadi jauh lebih kecil, karena komponen terbesarnya yaitu pengadaan barang modal (alat) dan gaji upah sudah ada di tempat lain,” kata Fahmi.
Adapun perjalanan atau ekspedisi riset hanya yang benar-benar essensial. “Tidak ada lagi anggaran perjalanan untuk sekadar rapat. (Sebab) rapat bisa dilakukan secara online,” jelasnya.
Berat Bagi Periset?
Berikutnya ketiga, yang menurut Fahmi benar-benar dirasa berat bagi sebagian besar periset adalah indikator kinerja BRIN yang diletakkan pada hasil riset yang diakui bermutu.
Artinya, hasil riset harus berupa publikasi ilmiah dalam jurnal yang terindeks global bereputasi, paten yang dikabulkan, dan benar-benar dipakai di industri, yakni berupa lisensi dan dalam kebijakan publik atau naskah akademis perundang-undangan.
“Ada yang kesulitan akses ke lab, karena untuk itu harus membuat proposal yang kompetitif dan mengajukan melalui e-Layanan Sains (ELSA),” terangnya.
Sementara, imbuh Fahmi, jika tidak mampu menghasilkan jurnal yang teindeks global bereputasi, maka poin ELSA-nya akan habis atau tidak bisa di-top up.
Begitu juga dengan banyaknya peneliti yang kesulitan soal publikasi jurnal global dimaksud. Sebab tidak ada lagi subsidi untuk membayar author processing cost (APC). “Ada sekian banyak peneliti yang tidak mudah lagi jalan-jalan, apalagi ke luar negeri untuk ikut aneka konferensi,” terangnya, seraya mengatakan bahwa semua sekarang serba kompetitif.
Maknanya, hanya yang kompetitif atau karyanya yang benar-benar dipandang menguntungkan industri, yang akan mendapatkan sponsor untuk jalan-jalan.
Lantas membahas peran negara terkait riset, Fahmi membenarkan bahwa negara memang harus mendukung riset. Baik dengan memberikan arah, perihal apa saja yang perlu diriset, juga memilih orang-orang yang tepat, dan memberikan fasilitas riset yang memadai.
“Fasilitas dan orangnya tepat, tetapi arahnya tidak jelas, atau jelas tetapi hanya meningkatkan kesenjangan ekonomi, pasti tidak baik,” tuturnya.
Sehingga tantangan ke depan di dunia riset Indonesia yaitu mengembangkan ekosistem riset, misalnya, bisa berjalan dengan baik. “Kita tidak mulai dari ruang kosong. Sekarang faktanya, ini ada 15.000 periset di BRIN yang kualitas saintifiknya maupun pandangan hidupnya masih heterogen,” ucapnya.
“Jadi, ‘pekerjaan rumah’ kita memang masih banyak,” pungkasnya.[] Zainul Krian