‘Dosa Jariyah’ bagi Pembuat Undang-Undang Dzalim

Oleh: Rokhmat s. Labib.

Pada Kamis 19/10, HTI turut diundang untuk menyampaikan pandangannya dalam RDPU di Komis II DPR RI tentang Perppu Ormas. Dalam kesempatan itu hadir Jubir HTI Ustadz Ismail Yusanto dan saya.

Setelah Ustadz Ismail Yusanto menyampaikan pandangan HTI, kemudian saya lanjutkan dengan memberikan beberapa nasihat kepada anggota DPR. Di antara nasihat saya,  hendaklah mereka takut membuat undang-undang dzalim yang mengkriminalisasi dakwah dan memenjarakan pengembannya. Sebab, itu berat dosanya di hadapan Allah Swt. Saya pun mengingatkan mereka dengan firman Allah Swt:

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (al-lawh al-mahfûzh) (QS Yasin [36]: 12).

Ayat ini memastikan Allah Swt akan menghidupkan kembali manusia untuk dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan yang telah dikerjakan selama di dunia. Ketika manusia diadili di mahkamah yang benar-benar adil. Tidak ada manusia yang manusia yang dirugikan diadili. Semuanya mendapatkan balasan yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Untuk itu, Allah Swt mencatat semua yang diperbuat oleh manusia.

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang dicatat oleh Allah Swt dari manusia ada dua.

Pertama, مَا قَدَّمُوا. Yakni, semua perbuatan yang telah mereka kerjakan, baik yang terpuji maupun yang tercela, yang shalih maupun yang durhaka. Demikian penjelasan para mufassir terkemuka, seperti Ibnu Jarir al-Thabari, al-Qurthubi, dan lain-lain.

Kedua, وَآثَارَهُمْ. Setidaknya ada dua penafsiran yang disampaikan para mufassir tentang ayat ini.

Menurut sebagian mufassir, kata âtsâr bermakna bekas jejak dan langkah kaki, baik yang berjalan untuk ketaatan maupun kemaksiatan. Mujahid menyatakan, âtsârahum adalah خطاهم بأرجلهم (langkah kaki mereka). (LIhat al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsûr). Ibnu Jarir al-Thabari meriwayatkan beberapa Hadits yang menunjukkan makna tersebut. Di antaranya adalah Hadits yang diriwayatkan Ibnu al-Mutsanna dari Jabir ra. Bahwa Bani Salimah ingin berpindah rumah dekat dengan masjid. Rasulullah saw bersabda kepada kepada mereka:

يَا بَنِي سَلِمَةَ دِيَارَكُمْ إنَّها تُكْتَبْ آثَارُكُمْ

Wahai Bani Bani Salimah, tetaplah di tempat tinggalmu. Sesungguhnya bekas jejak kakimu ditulis (HR al-Thabari).

Mufassir lain, seperti al-Syaukani dan al-Alusi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan âtsâr adalah semua kebaikan atau keburukan yang tetap ada setelah ditinggal mati pelakunya. Penafsiran tak jauh berbeda juga dikemukakan al-Qurthubi, al-Zamakhsyari, al-Samarqandi, al-Khazin, al-Baghawi, al-Nasafi, al-Jazairi, al-Sa’di, al-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka menyatakan, âtsârahum adalah semua kebiasaan yang diciptakan, baik yang hasanah (terpuji) maupun yang syay’ah (tercela), kemudian dicontoh orang-orang yang sesudahnya. Penafsiran ini didasarkan pada Hadits Nabi saw:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Barangsiapa yang membuat tradisi dalam Islam sebuah tradisi yang baik (sunnah hasanah), maka dia memperoleh pahala dari perbuatan yang dia kerjakan dan perbuatan orang yang menirunya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Dan barang siapa yang membuat tradisi dalam Islam sebuah tradisi yang buruk (sunnah syay’ah), maka dia memperoleh dosa dari perbuatan yang dia kerjakan dan perbuatan orang-orang yang menirunya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun (HR Muslim).

Dalam ayat lainnya, al-Quran menegaskan bahwa orang yang menyesatkan orang lain, maka dia juga harus menanggung dosa orang yang disesatkannya itu. Allah Swt berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ مَاذَا أَنْزَلَ رَبُّكُمْ قَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ (24) لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ (25)

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Apakah yang telah diturunkan Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Dongeng-dongengan orang-orang dahulu”. (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu (QS al-Nahl [16]: 24-25).

Orang-orang kafir yang mengajak manusia kepada kekufuran, maka dia harus menanggung dosa mereka dan dosa orang-orang yang mengikuti mereka (lihat QS al-Ankabut [29]: 13). Sebaliknya, orang yang mengajak kepada kebaikan, dia pun mendapatkan pahala semisal orang yang diajaknya. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barang siapa yang menunjukkan kebaikan, maka dia mendapatkan semisal pahala orang yang mengerjakannya (HR Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ahmad dari Abu Mas’ud al-Anshari).

Yang dimaksud mitslu ajri fâilihi (semisal pahala orang yang mengerjakannya) sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi adalah “Bahwa dia mendapatkan pahala atas perbuatan itu, sebagaimana pelakunya juga mendapatkannya. Tidak mengharuskan kesamaan ukuran atau  jumlah pahalanya.”

Syihabuddin al-Alusi menyebutkan beberapa contoh lain. Contoh peninggalan baik yang ditinggalkan adalah kitab yang ditulis, harta yang diwakafkan, bangunan di jalan Allah, dan berbagai kebajikan lainnya. Sementara peninggalan buruk adalah penetapan undang-undang yang dzalim dan lalim, penyusunan prinsip-pinsip yang buruk dan rusak yang berlaku di tengah manusia, dan berbagai bentuk kejahatan lain yang dibuat dan diberlakukan oleh orang-orang rusak sesudahnya.

Bertolak dari ayat ini dan penjelasan para ulama, maka kami mengingatkan kepada mereka agar tidak menerima Perppu yang dikatakan oleh mengkriminalisasi ajaran Islam, pengembannya, dan organisasi yang memperjuangkannya. Ini sudah banyak disampaikan oleh banyak pakar yang jujur tentang itu.

Maka sungguh berat hisabnya di hadapan Allah Swt bagi mereka yang menerima dan mendukung Perppu ormas yang dzalim itu. Bersiaplah untuk mendapatkan ‘dosa jariyah’ yang terus mengalir selama undang-undang itu  diberlakukan. Apalagi ketika UU itu memakan banyak korban dari ulama dan pengemban dakwah yang berjuang menegakkan Islam.  Mereka sesungguhnya sedang  berhadapan dengan Allah Swt dan menempatkan dirinya menjadi musuh-Nya. Sebab, Dialah yang memerintahkan hamba-Nya untuk tunduk dan patuh kepada syariah-Nya.  Sedangkan khilafah adalah bagian dari syariah yang diwajibkan untuk ditegakkan. Bahkan, hanya dengan khilafah seluruh syariah dapat ditegakkan dengan sempurna. Masihkah Anda punya nyali berhadapan dengan Allah Swt Sang Pemilik kerajaan langit, bumi, dan isinya? []

Share artikel ini: