Dokumen: Gerakan Papua Merdeka Minta Uang dan Senjata pada AS

Sejumlah dokumen Amerika Serikat (AS) yang baru-baru ini dideklasifikasi menunjukkan cikal bakal lahirnya Gerakan Papua Merdeka. Berkas-berkas itu mengungkap mengungkap bahwa orang-orang yang mencetuskan gerakan itu meminta bantuan uang dan senjata kepada AS.

Permohonan uang dan senjata kepada AS terjadi tahun 1960-an. Tujuannya, untuk melawan pasukan Indonesia yang mereka anggap melakukan kolonisasi di wilayah tambang kaya raya tersebut.

Dokumen-dokumen AS ini dirilis setelah isu Papua Barat sempat jadi perhatian di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menteri Pertahanan Indonesia Ryamizard Ryacudu pada pekan lalu mengatakan bahwa para aktivis yang menghadiri pertemuan kemerdekaan pro-Papua baru-baru ini di Vanuatu harus ditangkap saat kembali ke Indonesia.

Berkas tersebut termasuk di antara ribuan halaman kontak kabel diplomatik antara Departemen Luar Negeri dan Kedutaan Besar AS di Jakarta dari tahun 1960-an yang dideklasifikasi awal tahun ini. Ada 37 kotak telegram yang disimpan di National Archives and Records Administration di Maryland dan para periset sedang berupaya membuatnya tersedia secara online.

Kabel April 1966 dari Departemen Luar Negeri mencatat “kefasihan dan intensitas” Markus Kaisiepo, seorang pemimpin Papua yang diasingkan, yang berbicara dengan pejabat senior AS. Kaisiepo kala itu mengklaim bahwa ada penderitaan yang menyedihkan dari orang-orang Papua di bawah kekuasaan Indonesia.

Kaisiepo mengatakan bahwa orang Papua bertekad untuk merdeka, namun butuh sumber keuangan atau peralatan militer untuk melawan Indonesia.

Kaisiepo, yang putranya juga akan menjadi advokat terkemuka untuk kemerdekaan Papua, kemudian melobi AS. ”Apakah AS dapat memberikan uang dan senjata secara diam-diam untuk membantunya dan gerakannya,” bunyi dokumen tersebut.

Dia ditolak, seperti juga pemimpin Papua lainnya, Nicolaas Jouwe, yang mengajukan permintaan serupa ke AS dan Australia pada bulan September 1965.

Kaisiepo yang dikutip dalam dokumen April 1966 itu mengatakan, setelah pasukan PBB meninggalkan Papua, para pejabat Indonesia secara sistematis “menjarah” properti umum peninggalan Belanda dan mengirim barang “rampasan” ke Jakarta.

Victor Yeimo, Ketua Komite Nasional Papua Barat yang pro-kemerdekaan, mengatakan bahwa dokumen tersebut sangat penting. Alasannya, jadi bukti bahwa militer Indonesia melakukan kejahatan di Papua dan peran AS dalam menolak penentuan nasib orang-orang Papua sendiri.

”Informasi yang diperoleh dari dokumen-dokumen ini menunjukkan kepada dunia dan generasi sekarang bahwa AS dan Indonesia telah saling bahu-membahu dalam, kepentingan ekonomi dan politik AS memainkan peran besar dalam penjajahan Papua Barat,” kata Yeimo, seperti dikutip New York Times, Selasa (12/12/2017).[

Sumber: sindonews

Share artikel ini: