Dokter Tifa: Harus Ada Studi Kelayakan Makan Siang Gratis

Mediumat.info – Pakar Kesehatan dr. Tifauzia Tyassuma, Ph.D. menilai harusnya ada feasibility study (studi kelayakan) terhadap konsep makan siang gratis ini.
“Harusnya ada feasibility study terhadap konsep makan siang gratis ini,” tuturnya dalam diskusi bertajuk Terbongkar! Ternyata Ini Rahasia Gelap di Balik Program Makan Siang Gratis? dr. Tifa Buka Semuanya! di kanal YouTube Refly Harun, Rabu (8/1/2025).
Mereka bilang program makan siang gratis untuk mengatasi stunting (kerdil), kata Dokter Tifa, sapaan akrabnya, udah salah banget.
“Stunting itu terjadi pada 1000 hari pertama janin terbentuk dalam rahim ibu sampai disusui oleh ibunya selama dua tahun, itulah stunting di situ,” paparnya.
Bukan pada anak sekolah, tegasnya. Anak sekolah kan yang mau diperbaiki mestinya status gizinya, tapi enggak semua anak sekolah itu status gizinya buruk. “Jadi harus dilakukan pemilihan seleksi dulu,” cetusnya.
Ia merasa miris banget ketika lihat video saat diuji-cobakan makan siang gratis di anak sekolah Papua itu. Piring yang disiapkan untuk mereka isinya itu nasi putih kemudian ada semacam sayur kemudian ayam goreng.
Menurutnya, mereka enggak makan itu karena genetikanya nutrigenomiknya orang Papua itu kan bukan pemakan nasi. Mereka baru mengerti makan nasi kan baru setelah diajarkan oleh orang-orang Jawa, oleh para pebisnis pangan yang punya kepentingan bisnis di sana.
Mereka dipaksa, tandasnya, untuk mengubah budaya makan mereka dan itu bukan sekadar budaya karena itu memaksakan terjadinya mutasi genetika terhadap metabolisme dari orang Papua.
“Akibatnya di kemudian hari yang terjadi kalau kita paksakan menjadi sebuah program maka genetika mereka rusak kemudian nanti akan ada penyakit-penyakit metabolisme seperti diabetes akan meledak di sana, kolesterol akan meledak di sana, dan sebagainya,” jelasnya.
Padahal, ungkapnya, masyarakat Papua itu punya bahan pangan yang sangat bagus sekali dari sisi kesehatan yaitu sagu dan umbi-umbian.
Sagunya malah dibabatin jadi ladang jagung, kritiknya, hutan sagu mereka yang sagu itu adalah karbohidrat dengan indeks glukemik yang sangat rendah cuma 40 seratnya tinggi, oh sehat luar biasa.
“Jadi, kalau karbohidrat itu kita melihatnya tuh skor kesehatannya itu dari indeks glikemik semakin rendah indeks glikemik itu semakin sehat,” jelasnya.
Doketr Tifa merasa enggak kebayang makan siang gratis itu melampaui berapa jalur untuk sampai dimakan sama anak-anak. “Itu bakterinya berapa banyak gitu loh itu? Ngeri!” ungkapnya.
Sebab, jelasnya, membuat sistem pemberian makan yang matang itu waduh rigid sekali. “Bagaimana kita bisa membuat supaya tidak ada kontaminasi bakteri kan itu sangat sulit,” jelasnya.
Menurutnya, menyejahterakan itu linier dengan memberdayakan dan membangun, bukan memberi apa-apa gratis.
“Sebab kalau orang terbiasa diberikan gratis, orang terbiasa untuk tangannya itu menengadah maka orang itu tidak akan berdaya akan semakin mengalami rudimentasi pengecilan dari organ-organ dan terutama cara berpikirnya otaknya orang tidak distimulasi,” bebernya.
Lantas, ia mencontohkan kejadian sudah terjadi di dalam bukan program makan siang gratis yang belum dilaksanakan ini tapi pemberian makan tambahan di posyandu. Sebetulnya budgetnya tuh 15.000 di lapangan itu cuma tinggal 3.000 atau sampai 2000.
“Kebayang enggak itu makan Rp3.000 sampai 2.000 untuk ibu menyusui, untuk anak-anak balita itu?”
“Jadi, sama kayak ini kan jatah makan siang gratis katanya 15.000 per piring. Jadi apa coba makan 15.000 itu nasi sayur doang loh,” pungkasnya.[] Muhammad Nur
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat