Dokter Otopsi Brigadir J dan 6 Syuhada FPI Bisa Dituntut Pidana

Mediaumat.id – Otopsi yang dilakukan dokter kepolisian terhadap Brigadir Joshua, sebagaimana yang dilakukan juga kepada 6 syuhada laskar FPI dalam kasus Km 50, dinilai Advokat Aziz Yanuar melanggar kode etik kedokteran dan dapat dituntut secara pidana.

“Terhadap para syuhada Km 50 juga, terjadi otopsi tanpa izin keluarga. Artinya dokter yang melakukan otopsi dalam kasus Km 50 juga dapat dituntut hukum pidana maupun pelanggaran etik kedokteran,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Senin (15/8/2022).

Menurutnya,dari hasil otopsi ulang jelas Brigadir Joshua, membuktikan bahwa jenazah itu dirusak dan diacak-acak bagian dalamnya. Hal terjadi, karena pihak kepolisian selama ini merasa berhak secara sewenang-wenang, tanpa izin keluarga melakukan otopsi.

“Padahal secara hukum, seorang dokter diperbolehkan untuk mengambil tindakan kedokteran tanpa izin itu hanya untuk kepentingan menyelamatkan nyawa pasien atau orang yang menderita sakit. Jadi, pihak kedokteran polisi yang melakukan perusakan mayat itu dapat dituntut pidana. Ada pasal perusakan mayat dengan maksud untuk menyembunyikan kematian di dalam KUHP yaitu pasal 181,” ungkapnya.

Selain itu, kata Aziz, dokter yang melakukan otopsi tanpa izin keluarga serta yang memerintahkan secara bersama-sama dapat dituntut sebagai turut serta melakukan pembunuhan dan penyembunyian kematian. “Khusus dokternya dapat dijerat dengan kode etik kedokteran dan UU Praktik Kedokteran” tegasnya.

Islamofobia

Aziz mengatakan, perlakuan yang tidak sama terhadap kasus Brigadir Joshua dan Km 50 menunjukkan diabaikannya hak-hak korban dalam kasus Km 50. “Karena semata-mata mereka dianggap Islam garis keras yang mengancam kepentingan duniawi banyak pihak, jadi dengan alasan itu, maka justru mental hipokrasi bermunculan,” ujarnya.

Dalam kasus Duren Tiga, katanya, teriak lantang membela korban, tapi dalam kasus Km 50 justru teriak lantang membela pelaku. “Jadi, sesungguhnya orang-orang itu bukan sedang membela nilai kemanusiaan dan keadilan atau menentang kezaliman, tapi sesungguhnya sedang membela kepentingan penguasa yang dalam hal kasus Duren Tiga, menggunakan opini kemarahan publik hanya untuk membangun citra positif seolah-olah penguasa masih menegakkan hukum,” bebernya.

Padahal buktinya, setelah FS ditetapkan sebagai tersangka, lalu kasusnya justru anti klimaks, berbelok kembali menjadi tertutup dan dilokalisasi hanya kepada FS. “Padahalkan kasus Duren Tiga ini adalah brand ambassador, cerminan dari modus dan cara kerja serta sistem yang selama ini mereka berlakukan dalam merekayasa banyak kasus dan mentarget orang-orang tertentu untuk dijadikan tersangka semata-mata untuk kepentingan pembentukan opini citra positif lembaganya.

“Padahal sistem kerja serta modus operandinya adalah seperti yg terjadi dalam kasus Duren Tiga,” jelasnya.

Terkait dengan islamofobia, ungkap Aziz, maka mereka dengan modus operandi dan sistem kerja sebagaimana kasus Duren Tiga, menjadikan aktivis Islam, ulama, dan ormas Islam sebagai target untuk dijadikan korban ditersangkakan, dengan tujuan meraih simpati publik. “Begitulah kenyataannya,” tegasnya.

Jadi, kata Aziz, seharusnya dengan terbongkarnya sistem kerja dan modus operandi sebagaimana kasus Duren Tiga, harusnya kasus-kasus ulama dan aktivis Islam serta ormas Islam yang dijadikan tersangka dan terdakwa haruslah ditinjau ulang, dihentikan bahkan dibatalkan, dan seluruhnya haruslah dibebaskan demi hukum. “Karena semua kasus tersebut adalah hasil rekayasa sebagaimana kasus Duren Tiga,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: