Mediaumat.id – Keluarnya kebijakan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang melegalkan zina, dinilai paradoks oleh Analis Senior PKAD Fajar Kurniawan di saat maraknya isu korupsi yang menerpa ASN di lingkungan pendidikan.
“Ya, saya kira inilah paradoks pengelolaan negara kita dewasa ini. Alih-alih para pejabat publik itu fokus pada isu-isu strategis yang harus segera diselesaikan, khususnya isu korupsi yang dilakukan oleh ASN di lingkungan Kemendikbudristek beserta stakeholder pendidikan lainnya, tapi malah mengeluarkan kebijakan yang penuh kontroversi,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (27/11/2021) menyinggung hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengungkapkan negara merugi Rp1,6 triliun dari korupsi di sektor pendidikan sepanjang 2016-September 2021.
Menurutnya, hal itu membuktikan beberapa hal. Pertama, bahwa rezim dan para pejabat negara ini tidak serius melakukan upaya pemberantasan korupsi, padahal jelas bahwa korupsi ini tergolong ke dalam extra ordinary crime (kajahatan yang luar biasa), dan harusnya untuk menimbulkan efek jera, pelakunya harus dihukum seberat-beratnya.
“Bahkan kalau perlu dihukum mati. Tapi yang terjadi di negeri ini adalah paradoks. Para pelaku korupsi justru bisa seringkali dihukum ringan, lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Dan kalaupun dipenjara, maka penjara pun kemudian dapat ‘disulap’ menjadi tempat tinggal layaknya bintang 5, karena sudah jamak diketahui bahwa hal seperti itu bisa dilakukan asalkan punya uang dan koneksi,” ujarnya.
Fajar menilai, kalau mau serius melakukan pemberantasan korupsi, maka hukumlah dan stigmalah para pelaku korupsi itu layaknya sebagai orang yang telah melakukan extra ordinary crime.
“Hukumannya diperberat, kemudian dimiskinkan dan dipermalukan di hadapan publik. Kalau orang yang terduga teroris – yang katanya sama-sama melakukan tindak pidana extra ordinary crime – itu bisa dipermalukan, dihukum berat dan distigma sebagai orang yang radikal, lantas kenapa itu tidak dilakukan untuk para pelaku kasus korupsi?” tanyanya.
Menurutnya, ini menunjukkan bahwa negara tidak betul-betul menegakkan hukum dengan seadil-adilnya dan sebenar-benarnya. “Yang terjadi justru diskriminasi hukum,” tegasnya.
Kedua, Fajar menilai, dengan dikeluarkannya Permendikbudristek No. 30/2021 ini juga semakin menunjukkan bahwa jelas arah bangsa ini sedang dibawa ke arah sekuler radikal.
“Dan itu terbukti dengan banyaknya kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengarah ke sana. Sebelum ini ada juga UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU Pesantren, dan peta jalan pendidikan nasional, serta beberapa peraturan dan keputusan menteri yang selalu mengundang kontroversi, termasuk dalam hal pakaian seragam maupun hal lainnya,” bebernya.
Ia menilai hal ini dalam jangka panjang sangat membahayakan, karena akan menggerus nilai-nilai religius yang menjadi ciri khas bangsa kita, dan pada akhirnya masyarakat menjadi lebih permisif dan menerima budaya liberal dari Barat. “Tidak lagi terikat dengan nilai-nilai moral maupun agama yang diyakininya,” ujarnya.
Cabut Permendikbudristek 30/2021
Fajar menilai Permendikbudristek 30/2021 ini, jika ditimbang dari berbagai sudut pandang, khususnya sudut pandang agama dan norma yang ada di masyarakat, jelas produk kebijakan yang liberal.
“Oleh karena itu, memang wajib dicabut. Karena jelas sekali dalam bunyi pasal maupun ayat-ayatnya semuanya secara eksplisit melegalkan perzinaan – dalam berbagai tingkatannya – asal dilakukan atas dasar suka sama suka,” tegasnya.
Menurutnya, ini sangat berbahaya sekali. “Kita sebagai orang beriman, wajib mencegah terjadinya perbuatan zina. Misalnya dalam surah al0Isra’ ayat 32 yang artinya ‘Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk’, jelas Allah SWT melarang kita mendekati perbuatan zina ini,” jelasnya.
Fajar menyayangkan sikap negara yang bukannya mencegah warga negaranya agar tidak melakukan perbuatan zina atau membuat peraturan yang bisa mencegah terjadinya perbuatan zina, tapi malah “melegalkan” terjadinya perbuatan terkutuk itu.
“Ini apa coba kalau bukan rezim yang sekuler radikal. Rezim yang justru menjerumuskan rakyatnya agar berbuat zina dan terjerembab ke dalam kubangan lumpur dosa besar. Maka di sinilah kita harus terus melakukan amar makruf nahi mungkar, dan melakukan tindakan-tindakan konkret untuk menolak diberlakukannya permendikbudristek yang liberal ini,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it