Oleh: Dr. Fika Komara, Direktur Eksekutif Institut Muslimah Negarawan (ImuNe)
Seorang ekonom Indonesia yang dikenal kritis Kwik Kian Gie mencuit begini di awal Februari, “Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di-buzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil.” Pernyataan ini sangat mewakili situasi sosial politik di Indonesia saat ini yang cenderung sudah distopik.
Seperti dilansir Kompas 11 Februari lalu, pengamat komunikasi dan budaya digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengatakan, buzzer memiliki pengaruh yang sangat besar pada era digital saat ini. Budaya dukung-mendukung opini sebenarnya masih dalam taraf wajar di sosial media, tapi dalam kenyataannya kemudian ada satu pihak yang memulai dengan memfabrikasi dukungan, bisa pakai buzzer yang dibayar, bisa pakai bot untuk membentuk suasana.
Walhasil, Buzzer menjadi tidak alamiah dan berbahaya ketika melakukan penggiringan pendapat disertai dengan intimidasi dan doxing (penyebaran data-data pribadi di dunia maya dengan tujuan untuk menyerang atau membunuh karakter seseorang). Pasalnya, mereka juga memfabrikasi kebenaran yang tidak sesuai keadaan atau memalsukan realitas.
Distopia adalah suatu komunitas atau masyarakat yang tidak didambakan atau terkesan menakutkan, lawan dari utopia. Ketika teknologi berada di tangan aktor yang salah, dan digunakan di dalam peradaban yang rusak maka yang mungkin terjadi adalah distopia dan kezaliman.
Masyarakat distopia menjadi kenyataan di abad ini, sebuah masyarakat yang sangat tidak diharapkan, karena tidak punya kebebasan dan dipenuhi ketakutan. Apa yang terjadi di Indonesia; situasi distopik mulai menjadi kenyataan, saat kritik menjadi hal menakutkan bagi warganya, saat urusan pribadi dibombardir hanya karena pendapatnya berseberangan dengan pemerintah, saat ancaman doxing didapatkan hanya karena menyampaikan kebenaran.
Algojo buzzer ini telah menciptakan situasi distopik, karena seperti ulasan Tempo Oktober 2019, para pendengung ini bahkan dengan mudah mendapatkan profil pihak yang dianggap sebagai lawan, seperti kartu tanda penduduk, nomor telepon, bahkan jenis telepon seluler yang digunakan. Keberadaan para pendengung di media sosial ini bertugas mengamankan kebijakan pemerintahan Jokowi dengan menyebarkan berbagai kabar bohong untuk mempengaruhi opini dan sikap publik.
Menariknya para buzzer ini justru tumbuh subur di alam demokrasi, karena negara tidak mau hadir secara langsung agar tidak dicap otoriter. Maka para buzzer hadir menebar fitnah dan menjadi algojo virtual di sosial media pada siapa pun yang vokal mengkritik pemerintah.
Keberadaan buzzer ini justru mengungkap klaim palsu dari mereka yang mendukung demokrasi. Selalu ditegaskan bahwa demokrasi mampu mempersatukan bangsa, demokrasi memungkinkan transisi kekuasaan secara damai, memberikan hak kepada semua, demokrasi melindungi minoritas, memadamkan kerusuhan, demokrasi memungkinkan debat yang produktif dan itu adalah bentuk puncak peradaban. Tapi kenyataannya? Tidak ada ruang bagi pendapat berbeda, apalagi pendapat yang berasal dari perspektif Islam.
Saat derasnya arus informasi tidak lagi bisa dikendalikan oleh penguasa, maka yang mereka lakukan adalah membuat ‘kekacauan’ informasi dengan membiarkan aliran disinformasi membanjiri dunia sosial media, termasuk memelihara agen pembunuh bayaran digital yang digelari “buzzer” untuk melalukan tugasnya “killing the messenger” yakni membunuh para pembawa pesan kebenaran termasuk para pengemban dakwah Islam.
Fenomena baru ini sekaligus menyiratkan sikap keputusasaan dan kekalahan intelektual terhadap para pejuang Islam karena rezim-rezim itu bukan hanya berusaha membungkam dakwah Islam, tapi juga memakai cara-cara kotor manipulatif untuk mendiskreditkan para pembawa pesan Islam dan khilafah.
Sebelumnya mereka berusaha memblokir, menyensor, dan menghambat aliran komunikasi, namun cara ini ternyata tidak berhasil menghentikan dakwah Islam. Kini mereka mengarah ke strategi kooptasi yang mengkhianati nilai-nilai mereka sendiri karena menggunakan media sosial untuk mengontrol orang dan menabur kebingungan, ketidaktahuan, prasangka dan kekacauan informasi.
Sungguh, benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR Hakim)
Meningkatnya tekanan dan persekusi terhadap para pejuang Islam adalah pertanda kemenangan sudah semakin dekat. Di fase seperti ini keberanian dan tekad para pejuang Islam semakin dibutuhkan untuk menunjukkan kepada Allah bahwa kita layak atas kemenangan Islam.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS Ash-Shaf 61:8)[]