“Sebaik apapun aturan dan sebaik apapun penegak hukum, tanpa kesadaran masyarakat, masih dapat melahirkan civil dis-obidience,” ungkap Prof. Suteki ahli sosiologi hukum dan filsafat Pancasila dalam Diskusi Tokoh (25/08) di kawasan Surabaya Selatan.
Agenda ini sebagai agenda kolaborasi SJM (Silaturahim Jurnalis Muslim), RCAM (Rosyid College of Arts and Maritime Studies) dan PKAD (Pusat Kajian Analisis dan Data). Diskusi tokoh yang bertema ‘Kajian Multidimensi, Mencari Solusi Problematika Akut Bangsa’ tersebut dipandu Cak Slamet dari PKAD.
Prof. Daniel M. Rosyid (RCAM) menanggapi Prof. Suteki bahwa dis-obedience tidak akan dilakukan oleh orang yang bersekolah, karena justru persekolahan tidak membentuk budaya bangsa merdeka (independent mind and soul). Mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, untuk membangun jiwa merdeka tidak cukup dengan akhlakul karimah, tapi juga harus berbasis tauhid. Lebih jauh, Prof. Daniel yang pernah menjadi Ketua Dewan Pendidikan Jatim 2004 mengatakan,” Persekolahan dirancang untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup cerdas dalam menjalankan pabrik, tapi juga sekaligus cukup dungu untuk patuh bekerja sebagai buruh demi kepentingan asing.”
Narasumber dari bidang ekonomi adalah Dr. Ichsanuddin Noorsy. Dengan pemaparan yang kaya data dan disampaikan dengan bagan dan diagram dalam slide presentasi, cukup menjadikan Ichsanuddin menjadi pusat perhatian. Semua konsep dan argumentasi ilmiahnya telah dituangkan dalam buku barunya. Dia katakan,”Skema kekuasaan nasional dalam sistem ekonomi-sosial-politik saat ini, tidak memiliki kepekaan terhadap penderitaan rakyat.” Terkait dengan rupiah, dia katakan bahwa ‘kekuatan’ nilai tukar rupiah dlm fluktuasi global, tidak bersumber dari kekuatan internal rupiah.
Prof. Aminuddin Kasdi pakar sejarah, telaah historisnya terhadap adanya bahaya komunisme domestik (Neo-PKI) dan komunisme global (OBOR China), menyebutkan,”Pengaruh China sudah lama ada di Indonesia, sejak zaman dinasti Han abad 5 Masehi dan zaman dinasti Yuan pada abad 13 Masehi.” Ichsanuddin menambahkan bahwa Presiden China Xi Jinping ketika menjawab perang dagang melawan Amerika Serikat, mengatakan,”Kami mempunyai kemampuan bertahan dalam jangka panjang.”
Narasumber terakhir adalah Wahyudi Al Maroky, alumni STPDN dan sekarang sebagai Pembina LBH Pelita Umat. Wahyudi mengingatkan bahwa tujuan dibentuknya negara adalah untuk mengatur berbagai interaksi anggota masyarakat supaya tertib, teratur, aman dan terpelihara. Selain itu, tujuan kedua adalah untuk menciptakan kesejahteraan (welfare state). “Allah SWT telah menciptakan manusia, yang jumlahnya banyak, sehingga timbul interaksi-interaksi, maka diperlukan lembaga yang mengatur interaksi tersebut yang kita sebut sebagai negara,” tambahnya.
Diskusi yang dimulai pukul 09.00, tidak terasa berakhir sampai pukul 13.00 WIB, karena sesi dialog interaktif para tokoh sangatlah menarik. Ustadz Tamat Anshori, tokoh sepuh Dewan Dakwah Islamiyah yang mendapatkan kesempatan pertama menyampaikan, ”Awal-awal proklamasi saja, Indonesia telah diwarnai pengkhianatan penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta. Baru saja terjadi (pasca Pilpres), adanya legitimasi kecurangan.”
Ustadz Abdul Hakim, M.Pd. dari Muhamadiyah Surabaya dengan pendekatan sejarah Islam para Khulafaur Rasyidin, menyebut kiat sukses dalam berjuang adalah dengan berpedoman teguh aqidah dan melalui jalur politik. Choirul Anam dosen Universitas Darul Ulum Jombang yang aktif di FPI menanyakan perihal agenda strategis umat. Sedangkan lawyer Saifullah mengusulkan metode perjuangan umat dengan evolusi damai. Doa penutup dibacakan Ustadz Fuadi. [] rif