Diskon Listrik dan Bagi-Bagi Beras Tak Mampu Tutupi Dampak Kenaikan PPN
Mediaumat.info – Meski pemerintah memberikan stimulus berupa diskon 50 persen tarif listrik dan bantuan beras 10 kg, dinilai tak akan mampu menutupi dampak penaikan dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang menjadi 12 persen.
“Menurut saya tidak akan mampu menutupi dampak penaikan PPN 12 persen,” ujar Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim kepada media-umat.info, Sabtu (21/12/2024).
Sebab, diskon listrik dan bagi-bagi beras ini hanya diberikan selama dua bulan, yaitu Januari sampai Februari 2025. Sementara, kata Arim lebih lanjut, dampak penaikan PPN akan terus dirasakan oleh rakyat.
Artinya, diskon listrik dan bagi-bagi beras ini tak akan mampu meningkatkan daya beli masyarakat, terlebih mengendalikan inflasi. “Tidak akan mampu meningkatkan daya beli dan mengendalikan inflasi,” tambahnya.
Dikabarkan sebelumnya, dengan tujuan meredam turunnya daya beli masyarakat karena dampak penaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025, pemerintah memberikan sejumlah stimulus mulai dari tarif listrik diskon 50 persen sampai bantuan beras untuk masyarakat miskin.
Melalui pengumuman yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemberian diskon listrik ditujukan untuk pelanggan daya 2.200 W ke bawah. Sementara, pembagian beras sebanyak 10 kg per bulan akan diberikan kepada 16 juta penerima bantuan pangan.
Sementara Arim melihat, penaikan pajak di dalam sistem ekonomi kapitalis ini memang sebuah keniscayaan dan termasuk salah satu solusi utama untuk menaikkan pendapatan APBN selain menambah utang.
“Lebih dari 80 persen (sumber APBN) dari pajak, sebagian dari utang, hanya sebagian kecil dari (hasil) pengelolaan sumber daya alam,” ungkapnya.
Namun celakanya, hasil pajak termasuk PPN yang dipungut dari seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali, sebagian besar tidak kembali kepada rakyat baik dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial. Tetapi digunakan untuk membayar bunga utang dan proyek infrastruktur yang justru bukan untuk kepentingan rakyat.
Sebagaimana catatan Kemenkeu RI, misalnya, pemerintah telah membayarkan bunga utang sebesar Rp315,6 triliun per Agustus 2024. Jumlah pelunasan bunga utang ini makin mendekati outlook pembayaran bunga utang pada APBN 2024 yang sekitar Rp499 triliun.
Sementara, dikutip dari Laporan Badan Anggaran yang dibacakan Ketua Banggar Said Abdullah pada Rapat Paripurna DPR RI Kamis, (19/9/2024), anggaran untuk pembayaran bunga utang pada 2025 naik menjadi sebesar Rp552,854 triliun.
Karena itu, kembali Arim melihat kebijakan diskon listrik dan bagi-bagi beras ini untuk menutupi kebijakan zalim menaikkan PPN, yang juga disebut sebagai populis otoriter.
Otoriter populis sendiri, berarti menjadikan hukum, dalam hal ini UU 7/2021 tentang Harmoni Peraturan Perpajakan (UU HPP), sebagai pembenar atas tindakan yang sepertinya memenuhi kaidah demokrasi padahal hanya prosedural. Apalagi disebut-sebut pengesahan UU HPP sebagai bentuk UU Cipta Kerja dan penyempurnaan dari beberapa UU Pajak sebelumnya.
Namun, di dalam sistem ekonomi kapitalis seperti yang diterapkan saat ini, Arim tak heran dengan langkah negara yang selalu menaikkan besaran pajak, pungutan wajib dari rakyatnya sendiri.
Ditambah, karakteristik sistem ekonomi di negeri ini memang tergolong kapitalis objek, yang pada dasarnya jajahan dari negara kapitalis subjek, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Haram
Dari sudut pandang Islam, papar Arim, haram hukumnya pemerintah menarik pajak dari masyarakat secara zalim. Apalagi menaikkan besaran menjadi 12 persen.
“Sudahlah memungut pajaknya saja sudah zalim, apalagi ini dinaikkan lagi jadi 12 persen,” lontarnya, seraya menyampaikan hadits tentang pemungut pajak yang tak akan masuk surga.
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zalim),” demikian bunyi HR Abu Dawud, No: 2548 yang disahihkan oleh Imam al-Hakim.
Maka itu, adalah solusi seputar pajak harus dilakukan secara radikal, yakni dengan jalan mengganti sistem ekonomi kapitalistik berikut politik demokrasi yang melahirkan negara pemalak (jibayah), dengan sistem ekonomi dan politik Islam.
Dengan demikian, muncullah negara yang memelihara (riayah) dan melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali berikut pemberlakuan syariat yang adil.
Alhasil, dari kondisi ini bisa dipastikan akan melahirkan keberkahan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. “Sehingga melahirkan keberkahan dan kesejahteraan bagi rakyat baik muslim maupun non-Muslim,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat