Disahkannya Perpres ‘HGU 190 Tahun’, Bukti Kegagalan Pembangunan IKN

Mediaumat.info – Disahkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2024 yang mengatur rentang waktu Hak Guna Usaha (HGU) untuk lahan Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi 95 tahun dan bisa diperpanjang 95 tahun lagi dan total menjadi 190 tahun, merupakan bukti kegagalan pembangunan IKN.

“Kemudian yang kedua semakin menunjukkan bukti bahwa kegagalan pembangunan IKN itu ada di depan mata publik atau masyarakat umum,” ujar Direktur The Economic Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo S.E.I., M.Si. dalam Kabar Petang: Penguasaan Lahan oleh Swasta dan Asing, Haram dan Berbahaya, Jumat (19/7/2024) di kanal YouTube Khilafah News.

Jadi, apa pun alasannya, jelas Yuana, pemberian HGU sepanjang 190 tahun yang ditujukan untuk mengundang investor apalagi investor asing tentu mengandung sejumlah persoalan dan ancaman pada negeri ini.

Pertama, perpres ini melanggar konstitusi dan kedua, lebih buruk dari aturan kolonial Belanda,” jelasnya.

Mengutip Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), lanjutnya, perpres ini menunjukkan pemerintah telah melanggar dua dasar hukum. Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 21, 22 PUU V/ 2007 tentang Pemberian Hak Tanah kepada Investor.

“Undang-undang Agraria mengatur HGU maksimal itu selama 35 tahun dan seandainya diperpanjang pun maksimal 25 tahun, itu pun jika memenuhi syarat. Lah ini 190 tahun! Kan parah sekali Bung!!!” ungkapnya.

Kemudian, peraturan ini, kata Yuana, lebih buruk dari aturan kolonial, karena pada era penjajahan di tanah air saja undang-undang agraria kolonial hanya memberikan hak kepada investor mengelola perkebunan paling lama 75 tahun.

“Sebaliknya di era kemerdekaan ini pemberian HGU ke investor asing malah 190 tahun. Nyaris dua abad kan? Nah, meskipun pemerintah berdalih ya bahwa dengan pemberian HGU 190 tahun itu lahan masih milik negara, namun pemberian HGU dalam jangka panjang ini membahayakan kedaulatan negeri, tentu selama sepanjang 190 tahun itu pihak asinglah yang berkuasa di atas lahan tersebut,” tuturnya.

Akibatnya, beber Yuana, segala kekayaan alam yang ada di dalam lahan itu tidak bisa dimanfaatkan oleh rakyat.

“Ya, sudah sering terjadi itu rakyat seperti nelayan dilarang mendekati kawasan yang dikuasai asing ya, meski hanya sekadar berlayar atau mencari ikan saja, jadi ini memang betul-betul lebih parah dari masa kolonial penjajahan VOC dulu,” ujarnya.

Konsep Islam

Yuana juga memberikan catatan terkait konsep Islam dalam mengatur pengelolaan lahan.

Pertama, lahan atau tanah itu kan termasuk harta kepemilikan pribadi atau al-milkiyyah al-fardiah. Jadi, Islam mengizinkan setiap individu memiliki untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan mereka, misalnya untuk hunian, untuk tempat usaha, sawah, ladang, dan sebagainya.

“Jadi, setiap individu warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim berhak memiliki lahan ini, ya baik lahan secara tanahnya itu maupun lahan dalam arti sekadar hak guna usaha,” ujarnya.

Kedua, negara tentunya ini negara Islam memiliki otoritas, memiliki wewenang membagikan lahan kepada rakyatnya sehingga menjadi hak milik pribadi maupun sebatas HGU, namun negara tidak hanya membagi begitu saja kemudian dilepaskan begitu saja.

“Jadi, negara memiliki kewajiban mengawasi pengelolaan lahan ini ya, pengelolaan HGU ini, apakah benar-benar dikelola, apakah benar-benar dikelola atau diterlantarkan, kalau tidak dikelola alias diterlantarkan maka dalam waktu 3 tahun itu, selama penelantaran tadi negara wajib mencabut status kepemilikan lahan tersebut dan dialihkan kepada yang lain sehingga lahan ini bisa berproduksi,” ungkapnya.

Ketiga, Islam melarang menyewakan lahan tanian. “Sebagaimana sabda Rasulullah SAW itu melarang aktivitas mukabarah ini terus kemudian ada sahabat yang bertanya, ‘Apa itu mukabarah, ya Rasulullah?’ Kemudian dijelaskan mukabarah itu yaitu mengambil tanah dengan mengambil bagian atau keuntungan baik separuh sepertiga atau seperempat,” jelasnya.

Keempat, lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak karena di situ mungkin mengandung bahan tambang atau mata air yang berlimpah yang menjadi kebutuhan publik statusnya menjadi milik umum menjadi al-milkiyyah al-ammah (kepemilikan umum).

“Nah, lahan semacam ini dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan pada swasta apalagi itu swasta asing tidak boleh ya berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ‘Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api. Hadits riwayat Ibnu Majah, jadi kalau di lahan tersebut menjadi lahan kepemilikan umum, misalnya, jalan umum atau aliran sungai atau pantai dan laut yang hajat hidup orang banyak yang menjadi apa kebutuhan publik itu statusnya juga status kepemilikan umum, setiap orang boleh memanfaatkan lahan tersebut karena lahan tersebut menjadi lahan kepemilikan umum namun sekali lagi negara wajib menjaganya wajib memeliharanya wajib mengawasi penggunaannya itu,” ungkapnya.

Kelima, Islam memerintahkan negara untuk mencegah praktik-praktik imperialisme oleh asing melalui jalan penguasaan lahan ini baik secara perorangan, korporasi, maupun negara.

Jadi, jelas Yuana, penguasaan lahan selama hampir dua abad oleh pihak asing ini bisa berpotensi besar menghilangkan kedaulatan negara.

“Coba bayangkan saja, 190 tahun ini kalau kemudian dikuasai oleh imperialisme asing baik personal maupun korporasi maupun negara ini kan jelas sekali bisa menghilangkan eksistensi negara, kedaulatan negara dan ini hukumnya haram,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Share artikel ini: