Mediaumat.news – Rencana pemerintahan Jokowi akan menarik pajak 12 bahan makanan pokok makanan yang tercantum dalam Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), dipandang oleh Direktur Pamong Insitute Wahyudi Al Maroky sebagai tradisi negara sekuler-kolonialis.
“Pajak itu tradisi negara sekuler-kolonialis. Tradisi ini mestinya tak dilanjutkan di era modern yang sudah merdeka,” ungkapnya kepada Mediaumat.news, Senin (14/6/2021).
Menurutnya, selain tradisi negara sekuler-kolonialis rencana ini juga dipandang miskin empati di musim pandemi. “Di saat rakyat sedang susah mestinya pemerintah datang membantu rakyat. Jika belum bisa membantu minimal punya empati, menghibur dan memotivasi rakyatnya,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Wahyudi, rencana tersebut akan menambah beban psikis masyarakat. “Belum dilaksanakan saja, rakyat sudah susah dan dibikin gelisah. Apalagi jika jadi dilaksanakan tentu rakyat semakin susah,” jelasnya.
Parahnya, ia mengatakan, pajak 12 bahan makanan pokok tersebut akan lebih mencekik rakyat kecil ketimbang pejabat. “Seorang buruh kuli bangunan tentu perlu makanan kalori lebih banyak ketimbang politisi DPR yang duduk rapat di ruang sejuk sambil ngantuk atau bahkan tertidur,” jelasnya.
Karena itu, menurutnya, jika pemerintah belum bisa membuat rakyat sejahtera, setidaknya jangan membuat rakyat tambah susah. “Janganlah bebani rakyat dengan pajak sembako dan pajak-pajak lainnya,” pungkasnya.[] Ade Sunandar