Direktur Pamong Institute: Mahalnya Demokrasi Jadi Penyebab Korupsi

 Direktur Pamong Institute: Mahalnya Demokrasi Jadi Penyebab Korupsi

Mediaumat.news – Direktur Pamong Institute Wahyudi al Maroky menilai mahalnya pesta demokrasi menjadi awal mula terjadinya tindak pidana korupsi.

“Kalau kita lihat alurnya bahwa dengan pilkada yang begitu mahal atau pesta demokrasi yang disebut pilkada langsung itu begitu mahal biayanya yakni memerlukan tim sukses yang banyak. Inilah awal mula terjadinya potensi untuk melakukan korupsi. Apalagi gen-gen untuk korupsi itu sudah melekat ketika pesta demokrasi itu digelar,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Rabu (20/01/2021).

Menurutnya, pesta demokrasi itu biayanya mahal karena ada investor politiknya, ada tim suksesnya dan ada tim politikusnya atau tim pendukung partainya. “Jadi, untuk legalitas bisa menjadi calon saja atau untuk mendapatkan rekomendasi partai itu tidak ada yang gratis. Lalu, setelah itu ada tim suksesnya yang butuh biaya juga. Kemudian ada investor politik juga yang tentu membantunya. Nah semua ini harus dia lunasi ketika duduk di kursi kekuasaan atau kursi jabatan tadi,” ungkapnya.

Ia mengatakan ketika mengikuti proses pilkada, pemilihan jabatan dalam pesta demokrasi, maka seseorang harus menyiapkan tim sukses yang butuh dana dan menyiapkan investor politik atau para cukong yang membantu dana serta menyiapkan tim politik yang memberikan perahu dia untuk dapat rekomendasi bisa mendaftar.

“Sekadar mendaftar saja butuh itu. Oleh karena itu, dengan model seperti itu, begitu dia duduk maka dia harus menyelesaikan utang-utang politiknya. Di antaranya adalah utang kepada investor politik, utang kepada rakyat yang memilihnya dan utang kepada tim suksesnya yang mendukung dan menyukseskannya,” beber Wahyudi.

“Alur inilah yang membuat seorang pejabat itu suka atau tidak suka dia akan terpaksa dalam konteks melakukan tindakan yang dikategorikan korupsi,” imbuhnya.

Tidak Cukup

Namun, ia bisa memahami terkait dengan pernyataan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola yang menyatakan bahwa gaji gubernur tidak cukup karena tim pendukungnya banyak permintaan.

“Saya menanggap ini hal yang wajar. Kalau lihat gaji gubernur menurut Keppres 68/2001 itu kecil sekali. Jadi, gaji seorang gubernur itu kan 3 juta plus 5,4 atau sekitar 8,4 juta gaji resminya. Ditambah nanti ada biaya operasional (BOP),” ujarnya.

Menurutnya, BOP untuk seorang gubernur diambil 1 persen dari PAD propinsi itu. “Taruhlah kalau PAD Provinsi Jambi 2019 sekitar 48,9 miliar atau di bawah 50 miliar maka dia berhak dana BOP sekitar 260 juta per bulan. Nah, kalau dengan gaji segitu 8 juta ditambah 260 juta sekitar 270 juta. Atau taruhlah 300 juta. Kalau 300 juta sementara dari tim pendukungnya dulu banyak mengajukan bantuan dan sumbangan, akhirnya gaji tidak cukup. “Dalam konteks ini, saya bisa memahami,” ujarnya.

Ia menilai jika dalam satu bulan ada tim pendukungnya, apalagi satu propinsi mengajukan proposal minta berbagai bantuan maka penghasilan 300 juta itu tidak cukup. “Ada yang minta bantuan keluarganya yang meninggal. Ada yang minta bantuan anaknya sekolah. Ada yang minta bantuan untuk bangunan jalan atau bangunan mushola atau bangunan tempat ibadah atau bangunan yang lain. Ada juga yang minta bantuan kegiatan olahraga, dan seterusnya. Kalau proposal itu numpuk di mejanya satu bulan lebih dari 200 sampai 300 proposal tinggal kalikan saja. Taruhlah kalau 1 bulan ada 200 proposal yang masuk, maka tinggal kalikan 5 juta sudah 1 miliar yang harus dia siapkan. Artinya dengan gaji begitu tentu tidak cukup,” jelasnya.

Jadi, ia bisa memahami kenapa Zumi Zola mengatakan bahwa banyak sekali permintaan dari tim pendukungnya. “Akhirnya gaji gubernur saja tidak cukup dan mungkin dia mencari dengan cara-cara yang lain yang tidak legal dan akhirnya ditangkap KPK,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *