Direktur Inqiyad: Ideologi adalah Pemikiran Radiks

Mediaumat.id – Menyoroti term ideologi, Direktur Institute of Islamic Analaysis and Development (Inqiyad) Assoc. Prof. Dr. Fahmy Lukman, M.Hum. menyampaikan ideologi adalah pemikiran yang sangat radiks (mendasar).

“Jadi memang ini adalah pemikiran yang sangat radiks. Itu yang dikategorisasi tentang ideologi,” tuturnya dalam FGD: Islam is Beyond Ideology, Sabtu (18/2/2022) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Menurutnya, ideologi memiliki seperangkat aturan yang menyeluruh dan seperangkat aturan itu memiliki solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh manusia.

“Dan di dalam konteks ideologi, dia memiliki metode spesifik untuk menjaga pemikiran atau konsep mendasarnya tersebut tadi dalam konteks melaksanakan aturan-aturan hidup serta menyebarkan pemikiran-pemikiran ideologi itu ke seluruh umat manusia,” terangnya.

Jadi, lanjutnya, kalau begitu, maka ideologi itu memiliki konsep (pemikiran) dan metode menerapkan (mengimplementasikan) konsep.

“Dalam kaitan dengan aspek ini, ada tiga hal yang tadi saya jabarkan, yaitu pemikiran mendasar, adanya seperangkat aturan kehidupan, dan ada metode spesifik untuk menjaga pemikiran mendasar itu. Yang saya coba terjemahkan, bahwa di situ, sebuah ideologi memiliki fikrah, di situ ada akidahnya, ada konsepsi yang terkait dengan keyakinan dan ada solusi terhadap problematika manusia. Dan yang kedua ada thariqah, ada metode di dalam menerapkan konsepsi itu di dalam kehidupan manusia,” urainya.

Jadi, ujar Fahmy, kalau begitu, kerangkanya adalah ideologi itu memiliki dua kategori. Ada konsep dan ada metode untuk menerapkan konsep. Dan menurutnya, semua ideologi memiliki dua aspek tadi.

Ideologi Kapitalisme

Fahmy menerangkan, ideologi kapitalisme dengan kekhasan akidahnya, konsepsi keyakinannya, yaitu sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dalam kapitalisme, sekularisme ditempatkan pada wilayah privat seperti halnya terkait persoalan ritual, persoalan ibadah, kemudian sekulerisme juga lahir dari latar belakang penolakan agama, dan meremehkan agama.

“Ini adalah lahir dari kalangan masyarakat Eropa pada masa-masa abad pertengahan yang lalu, saat itu Eropa mengalami masa The Dark Ages (Abad Kegelapan),” terangnya.

Oleh karena itu, sambung Fahmy, maka sekularisme sebagai sebuah keyakinan menyatakan bahwa dunia ini harus diatur oleh hukum manusia, bukan hukum agama. Di sinilah letak persoalan akidah kapitalisme itu adanya.

Ia memandang kapitalisme itu punya aturan tentang bagaimana mengatur kehidupan. “Maka dalam prinsip-prinsip kapitalisme yang saya pahami tentang aspek itu, maka aturan itu dibuat oleh manusia menggunakan aturan buatan manusia itu sendiri. Jadi, manusialah yang kemudian menjadi sumber dari segala sumber hukum,” jelasnya.

Kemudian, lanjut Fahmy, yang kedua, menolak aturan yang lahir dari agama. Dan yang ketiga sistem pemerintahan menggunakan sistem pemerintahan demokrasi.

Menurutnya, inilah yang digagas oleh John Locke dan Montesquieu dalam konteks sistem politik dan pemerintahan dengan membagi kekuasaan menjadi tiga aspek, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ada pemisahan kekuasaan dari tiga aspek.

Oleh karena itu, kata Fahmy, maka dalam kapitalisme, rakyat melalui wakil rakyatnya berhak untuk membuat hukum yang bersifat mengikat. “Jadi, kapitalisme sebagai ideologi, maka dia punya dua hal. Ada akidahnya, yaitu sistem keyakinannya yang terdapat di dalamnya itu sekulerisme. Dan yang kedua adalah ada konsepsi tentang aturan hidupnya yang dibuat oleh manusia,” tegasnya.

“Begitu pula dari sisi tolak ukur perbuatan, maka asasnya itu manfaat. Oleh karena itu, baik dan buruk diukur berdasarkan manfaat. Menolak adanya ukuran tentang batasan halal dan haram,” tambahnya.

Menurutnya, konsepsi tentang halal dan haram, hak dan batil itu, hanya ada di dalam agama (Islam), tidak ada dalam ideologi kapitalisme.

“Begitu pula dalam konteks mengatur masyarakat. Masyarakat dalam kapitalisme terdiri dari individu, karena memang faktanya seperti itu. Kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat akan terwujud jika setiap individu diberi kebebasan sebebas-bebasnya. Inilah yang melahirkan sistem ekonomi yang kapitalistik,” pungkasnya.[] ‘Aziimatul Azka

Share artikel ini: