Diprediksi Utang Pemerintah Tembus Rp7 Ribu T di Akhir Tahun

Mediaumat.id – Tanggapi utang pemerintah yang meningkat terus hingga Rp6.711,52 triliun per September 2021, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak memperkirakan, akan terus meningkat lebih dari Rp7000 triliun hingga akhir 2021.

“Masih ada tiga bulan lagi, Oktober, November, Desember; dan diperkirakan bisa lebih dari 7000 triliun hingga akhir tahun,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (30/10/2021).

Tahun ini, bila mengacu laporan Kementerian Keuangan dalam APBN Kinerja dan Fakta edisi Oktober 2021, realisasi utang tahun 2021 juga lebih besar dibandingkan tahun lalu sebesar Rp5.858,29 triliun per Oktober 2020.

Ishak mengungkapkan, postur RAPBN 2022, neraca anggarannya meliputi pendapatan negara sekitar Rp1750 triliun, dan belanja sekitar Rp2700 triliun. “Defisit yang sekarang sekitar 4% dan cukup besar, sehingga pemerintah harus menalangi pembiayaan sebesar sekitar Rp1000 triliun,” bebernya.

Maka itu ia tak heran, di tahun berikutnya pemerintah berencana mengurangi pengeluaran hampir semua pos-pos belanja dalam rangka konsolidasi fiskal, termasuk untuk mengurangi defisit akibat kebutuhan penanganan pandemi.

Masalah Fundamental

Menurut Ishak, masalah fundamental dari polemik defisit anggaran dari tahun ke tahun yang makin membesar adalah adanya ketidakseimbangan antara pendapatan dan belanja negara. “Dan ini harus didanai oleh pinjaman, khususnya melalui obligasi yang sebagian dalam bentuk mata uang domestik rupiah, sebagian lagi dalam mata uang valas,” ujarnya.

Ia menerangkan, ketergantungan utang apalagi berbunga oleh negara debitur termasuk Indonesia, tidak bisa lepas dari resiko-resiko bahaya. “Ketika terjadi pelemahan nilai rupiah atau pun kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The FED, biasanya akan membuat investor-investor asing di sektor bursa saham atau surat berharga negara, menarik investasinya ke Amerika,” jelasnya.

Bahkan kabar terkini, The FED berencana melakukan tapering off, atau pengurangan bantuan likuiditas bank-bank di AS. “Saat itu, surat utang kita akan menurun harganya, dan imbasnya juga akan semakin tinggi. Dengan kata lain, biaya bunga yang dikeluarkan oleh perusahaan akan semakin besar,” tambahnya.

Demikian juga dengan akan tersedotnya pendapatan negara hanya untuk membiayai belanja bunga utang yang sangat tidak produktif. Menurutnya, uang tersebut hanya akan mengalir kepada para investor di sektor keuangan dan institusi investasi khususnya AS dan Uni Eropa.

Tak hanya itu, tegas Ishak, dampak utang makin besar oleh pemerintah Indonesia akan dirasakan para pelaku usaha yang masih membutuhkan BBM bersubsidi atau bantuan sosial lainnya. Santer diketahui, usulan dari mantan Dirut Pertamina Ari Soemarno agar skema subsidi solar diubah dari berbasis komoditas menjadi subsidi langsung berbasis ke orang.

Belum lagi persoalan pupuk yang ia pastikan harganya naik seiring harga gas juga mengalami kenaikan luar biasa. “Akhirnya kita harus membayar bunga utang lebih besar dibandingkan belanja-belanja yang produktif seperti belanja subsidi dan bantuan sosial untuk orang-orang miskin dan yang membutuhkan,” sesalnya.

Kembali ke Islam

Ishak menuturkan, selama sistem penyusunan APBN berlandaskan format kapitalisme, persoalan utang akan terus terjadi. “Dan saya kira, acuannya adalah kembali kepada syariat Islam,” tegasnya.

Ia melihat, negara-negara yang menjadi kiblat kapitalisme justru mengalami problem utang bahkan lebih besar. Semisal, AS dengan kongresnya yang malah sepakat menaikkan debt ceiling, atau batas utang agar bisa membiayai bunga utang atau pun para pegawainya.

Lantas dengan desain APBN yang sesuai dengan syariat Islam, tidak kemudian negara langsung bebas dari defisit. “(Setidaknya) ketika Islam membiayai defisit, juga harus sesuai dengan syariat Islam,” ucapnya.

Penerbitan surat utang tanpa bunga kepada penduduk-penduduk kaya, berikut skema angsuran yang disertai dengan pengurangan kewajiban mereka membayar pajak, menurutnya bisa dilakukan.

Namun, tegas Ishak, dalam konteks Indonesia dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, sebenarnya sangat cukup untuk membiayai defisit. “Kalau misalnya itu terjadi” timpalnya.

“Taruhlah misalnya kita asumsikan nett produksinya, margin produksinya itu US$120, maka kalau kita kalikan kurs 14 ribu dikali target produksi batu bara tahun ini itu sekitar 600 juta ton, maka akan diperoleh pendapatan itu sekitar Rp1000 triliun,” sambungnya.

Menurut Ishak, itu baru dari komoditas batu bara. Belum tentang nikel, maupun pengembangan sektor kehutanan yang dalam perspektif lebih modern akan memiliki nilai tambah sangat tinggi karena tidak hanya diekspor dalam bentuk raw material.[] Zainul Krian

Share artikel ini: