Mediaumat.news – Pemanggilan BEM UI terkait unggahan “Jokowi The King of Lip Service” oleh rektorat dinilai masih mahalnya kebebasan akademik di Indonesia.
“Ini menunjukkan bahwa kebebasan akademik masih menjadi barang mahal bagi para akademisi di Indonesia,” tutur Pengamat Kebijakan Publik Dr. N. Faqih Syarif Hasyim, M.Si. dalam acara Kabar Petang: Tolak Pembungkaman dalam Kampus, Rabu (30/6/21) di kanal YouTube KC News.
Menurutnya, sudah seharusnya mahasiswa perguruan tinggi sebagai moral force memberikan kritik yang membangun. “Tentu BEM UI ketika mengkritik itu ada analisa dan riset. Seharusnya pemimpin mestinya harus membuka diri,” ujarnya.
Faqih menilai, pembungkaman kampus tidak hanya terjadi di UI. “Sejak 2019, kaukus kebebasan akademik di Indonesia menilai Indonesia belum sepenuhnya melindungi kebebasan akademik di kampus, misalnya waktu di UGM melakukan seminar tentang persoalan pemberhentian presiden ditinjau dari sistem ketatanegaraan, pembungkaman itu juga terjadi. Bahkan kemudian ada tekanan. Ada ancaman dan sebagainya,” ungkapnya.
“Peristiwa-peristiwa itu ternyata berulang terus termasuk di Universitas Halu Oleo, Randy dan Yusuf dalam aksi reformasi dikorupsi di Kendari Sulawesi Tenggara. Kemudian masih banyak peristiwa lainnya termasuk pembubaran pers mahasiswa dan lain sebagainya,” tambahnya.
Faqih menilai, pemblokiran kebebasan akademik dan sebagainya seperti kasus di BEM UI ini menjadi catatan hitam lagi bagi pihak kampus. “Seharusnya kampus melindungi kebebasan akademik selama dilakukan terbaik, selama ada etika dan selama ada alasan-alasan,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, kalau jadi pemimpin itu memang harus dikritik. “Kalau enggak mau dikritik, ya jangan jadi pemimpin, apalagi dikritik oleh mahasiswa dengan sebuah data sebuah analisa sehingga kemudian bisa memperbaiki diri,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it