Din Syamsuddin Nilai Politik Indonesia Kleptokrasi

Mediaumat.id – Tokoh Muhammadiyah Prof. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, M.A., Ph.D., atau dikenal dengan Din Syamsuddin menilai, proses perpolitikan yang terjadi di Indonesia selama ini bukanlah demokrasi, tetapi lebih kepada kleptokrasi.

“Apa yang terjadi di Indonesia selama ini bukanlah demokrasi dan demokratisasi, tetapi sudah menjelma dalam bentuk, bahkan mungkin bisa disebut adanya kleptokrasi,” ujarnya dalam Live FGD #25 FDMB: Refleksi dan Prediksi Keumatan; Peluang dan Tantangan Peradaban Islam, Kamis (30/12/2021) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Secara definisi, teori kekuasaan politik kleptokrasi memang berasal dari publik/rakyat, tetapi tujuannya untuk memperkaya kelompok tertentu atau diri sendiri. Sedangkan pemerintahannya sendiri umumnya tidak jauh dari praktik-praktik korupsi, kezaliman dan kriminalisasi.

Sebagaimana rumus sebab akibat, menurut Din, telah terjadi kerusakan struktural akut di dalam kehidupan nasional yang penyelesaiannya pun tidak bisa dilakukan kecuali juga lewat pendekatan struktural. “Dan kerusakan struktural ini kemudian mengejawantah pada perilaku elite politik yang semakin merusak,” kata Din.

“Politik Indonesia (telah) dikuasai, dipengaruhi dan didikte oleh oligarki, segelintir orang elite ekonomi yang bersekongkol dengan elite politik dalam sebuah persekongkolan jahat,” nilainya menambahkan.

Dampak kekuasaan seperti itulah yang, menurut Din, telah membawa bangsa kepada kejatuhan atau paling tidak di ambang kejatuhan.

Rusak

Secara pemilu pun, ia melihat betapa pemangku amanat lewat sebuah proses pemilu yang sebenarnya juga rusak. “Akhirnya melahirkan rezim yang rusak. Akan membawa musibah lebih lanjut ketika dia juga atau mereka juga merusak,” ucapnya.

Bahkan, tambah Din, perilaku politik para elite yang berkuasa saat ini mirip dengan yang disebut dalam literatur ilmu politik, khususnya marxisme, sebagai constitutional dictatorship, atau kediktatoran konstitusional.

Terlebih, pada tataran sosial kemasyarakatan kebangsaan yang telah terbelah karena politik devide at impera, para elite juga melakukan politik membumihanguskan lawan-lawan politik mereka.

Sebenarnya, ungkap Din, kerusakan dimaksud sudah berlangsung sebelum 2021. “Ada inefektivitas partai-partai politik untuk merajut kebangsaan kita,” tegasnya sembari menunjukkan produk-produk hukum dari parlemen yang justru banyak tidak berpihak pada rakyat.

Misal, RUU No. 11/020 tentang Cipta Kerja serta kebijakan tentang keuangan negara yang dimulai dari Perppu No. 1/2020. Bahkan secara proses, cepat sekali DPR mengesahkan menjadi undang-undang.

Lantaran itu, kata Din, publik bisa melihat salah satu ketidaktegasan MK yang telah memberlakukan UU Ciptaker selama dua tahun. Padahal keputusannya inkonstitusional bersyarat. “(Pun) DPR kita bertekuk lutut menyerahkan diri untuk dilucuti oleh eksekutif,” imbuhnya.

Tak jauh beda dengan UU No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Penanggulangan Covid-19. Dari sekitar Rp87 triliun yang diajukan, lahirlah dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mencairkan sekitar Rp25 triliun saja. “Ini yang kemudian rakyat terbebani untuk apa yang disebut tracing segala macam itu dengan membiayai sendiri. Bahkan sempat dalam harga mahal,” tandasnya.

Malah, menurut Din, hal seperti itulah yang sangat potensial untuk meniadakan kesejahteraan rakyat.

No Hope

Sehingga ketika bicara outlook politik Indonesia tahun 2022, Din malah mengatakan, tak ada yang bisa diharapkan, karena memang kondisi perpolitikan tidak lebih baik dari 2021. “2022 pada hemat saya, no hope. (tidak ada harapan),” tegasnya.

Belum lagi, terkait dengan geopolitik dan ekonomi dunia yang saat ini terjadi pergeseran pusat gravitasi ekonomi dunia dari Atlantik ke Pasifik. “Ketika politik luar negeri, rezim yang berkuasa begitu mudah untuk takluk dan bertekuk lutut dan apalagi ada sandera-sandera ekonomi, utang, dsb,” urainya.

Oleh karena itu, kata Din, harus ada sebuah intervensi atau interupsi dalam bentuk mengembalikan Indonesia ke khittahnya. “Ini yang harus kita pikirkan bersama,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: