Oleh: Hafid Karmi
Pengasuh Majelis Kajian Kitab-kitab Turats, Jawa Barat
Akhir-akhir ini terjadi perdebatan hangat apakah ayat suci atau ayat konstitusi yang posisinya di atas atau lebih tinggi? Berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (QS. al-Maidah: 49).
Maka tak diragukan lagi bahwa kitab suci (al-Qur’an) harus di atas segalanya. Wajib berhukum pada hukum Allah, dan haram mengikuti hawa nafsu, dan harus berhati-hati dari segala rayuan yang memalingkan dari apa yang Allah turunkan. Nilai apapun yang posisinya menggantikan kitab suci hakikatnya adalah “hakim” baru selain Allah. Ia adalah berhala yang harus dihilangkan.
Dilihat dari kedudukannya, kitab suci di atas konstitusi (dustur) apapun yang dibuat oleh manusia. Pada saat manusia membuat konstitusi, maka ia harus bernaung di bawah kitab suci al-Qur’an; merujuk kepadanya dan tidak boleh menyelisihinya. Dilihat dari posisinya sebagai asas dan cabang, maka akidah Islam adalah dasar dari setiap konstitusi yang ada.
Islam tidak mengakui sekularisme. Agama dalam negara khilafah tak hanya menjadi dasar keyakinan dan amal perbuatan individu muslim, tetapi juga menjadi landasan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Akidah Islam Adalah Dasar Negara
Dalam kitab Muqaddimah al-Dustur karya syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani rahimahullah, pada pasal satu dengan jelas berbunyi:
العقيدة الإسلامية هي أساس الدولة، بحيث لا يتأتى وجود شيء في كيانها أو جهازها أو محاسبتها أو كل ما يتعلق بها، إلاّ بجعل العقيدة الإسلامية أساساً له. وهي في نفس الوقت أساس الدستور والقوانين الشرعية بحيث لا يُسمح بوجود شيء مما له علاقة بأي منهما إلاّ إذا كان منبثقاً عن العقيدة الإسلامية
“Akidah Islam adalah dasar negara. Tidak ada sesuatu apapun, baik yang menyangkut bentuk, struktur, dan kontrol, serta hal-hal yang berhubungan dengan urusan negara yang kecuali harus berasaskan akidah Islam. Akidah Islam menjadi asas undang-undang dasar (UUD) dan perundang-undangan (UU) syar’i. Tidak ada toleransi sesuatu apapun yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan perundang-undangan kecuali harus terpancar dari akidah Islam.” (Taqiyyuddin al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hlm. 5).
Jika dikatakan akidah Islam adalah dasar negara, artinya segala pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Tidak boleh ada satu pun konsep (mafahim), kriteria (maqayis) ataupun keyakinan (qana’at) yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Jadi segala hal yang menyangkut institusi negara, perangkat negara dan pengawasan terhadap negara, tidak boleh didasarkan pada konsep (mafahim), kriteria (maqayis) ataupun keyakinan (qana’at) yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Mengapa dasar negara harus akidah Islam? Hal itu dapat dijelaskan dengan tiga alasan: Pertama, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah (pasca hijrah tahun 622 M) berdasarkan akidah Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan Daulah Islamiyah berdasarkan sesuatu yang mendasar, yakni kalimah syahadat “La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah”.
Kedua, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan dan mewajibkan jihad untuk menyebarkan kalimat syahadat itu kepada seluruh umat manusia. Ini menunjukkan urgensi posisi akidah Islam sebagai pondasi atau asas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الله
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah ta’ala.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ketiga, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan memerangi penguasa yang mengubah konstitusi Islam menjadi konstitusi kufur. Hal itu demi menjaga posisi akidah Islam agar tetap menjadi dasar negara. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan umat Islam menaati imam serta melarang mereka memeranginya selama menegakkan shalat, “Jangan selama mereka mengerjakan shalat.” (HR. Muslim). Shalat di atas merupakan kinayah dari hukum-hukum Islam yang ditegakkan oleh penguasa.
Demikian juga dalam riwayat yang lain, dari ‘Ubadah bin al-Shamit Radhiyallahu ‘anhu,
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ « إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami untuk berbai’at, lalu kami berbai’at kepadanya. Bai’at tersebut mewajibkan kami untuk mendengar dan selalu ta’at kepada penguasa dalam keadaan senang atau benci, sulit atau lapang, dan mengalahkan kepentingan kami, juga tidak menentangnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang nyata dan kalian memiliki bukti dari Allah’.” (HR. Muslim)
Akidah Islam Adalah Dasar Hukum Perundangan
Mengapa semua undang-undang wajib bersumber dari akidah Islam? Jawabnya adalah: Pertama, karena ada dalil yang mewajibkan umat Islam untuk berhukum pada hukum yang diturunkan Allah (QS. an-Nisa’ [4]: 65; QS. al-Maidah [5]: 48); Kedua, karena ada dalil yang melarang tegas berhukum dengan selain hukum Allah (QS. al-Maidah [5]: 44).
Maknanya, apabila seorang muslim menerapkan selain hukum Allah, ia menjadi kafir (murtad) jika ia berkeyakinan (i’tiqad) secara pasti akan benarnya hukum itu dan berkeyakinan bahwa hukum Islam tidak layak diterapkan. Jika muslim tersebut tidak berkeyakinan seperti itu, ia tidak kafir, tetapi tetap berdosa (zhalim atau fasik).
Demikian juga dengan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dan dalam riwayat lain,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.” (HR. Muslim).
Ibnu Daqiq al-Ied dalam Syarh al-Arba’in Haditsa al-Nawawiyyah mengatakan, “Hadits ini adalah salah satu kaidah agung dari kaidah-kaidah agama. Ini termasuk jawami’ al-kalim (kalimat yang ringkas tapi padat makna) yang diberikan kepada al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena ini menegaskan penolakan terhadap segala bid’ah, dan segala yang diada-adakan. Hadits ini menjadi dasar atas dibatalkannnya semua akad yang terlarang dan tiada manfaatnya. Hadits ini dijadikan argumen oleh sebagian ahli ushul bahwa larangan itu menunjukkan kerusakan.”
Untuk hadits kedua, Ibnu Daqiq al-Ied menyebutkan, “(hadits ini) menegaskan untuk meninggalkan segala perbuatan yang mengada-ada, baik pelakunya yang mengada-adakan atau dia ikut-ikutan melakukannya. Sebab, inilah yang dijadikan dalil oleh sebagian penentang, ketika melakukan perbuatan bid’ah, ia mengatakan, “Aku tidak mengada-adakan sesuatu.” Maka dibantah dengan riwayat ini. (Ibn Daqiq al-Ied, Syarh al-Arba’in Haditsa al-Nawawiyyah, hlm. 25)
Dalam konteks pemerintahan dan penetapan aturan perundangan, bentuk bid’ah adalah setiap pemerintahan dan perundangan yang tidak mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Dalilnya adalah riwayat Abu Daud dan yang lainnya, dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ « أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan nasihat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat”.” (HR. Abu Daud).
Penutup
Demikianlah konsep negara yang ideal menurut Islam; menempatkan akidah Islam sebagai dasar negara dan dasar hukum perundang-undangan, dan menempatkan kitab suci di atas konstitusi. Hal itu berbeda dibandingkan dengan konsep negara bangsa (nation state) dengan sistem demokrasinya, dimana agama dipisahkan dari negara. Maka dari itu, agama hanya berperan sebagai keyakinan pribadi, tidak menjadi pengatur kehidupan publik dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini mengantarkan kita pada pertanyaan mendasar; apakah kita ridha diatur oleh undang-undang Allah atau undang-undang buatan manusia yang lancang terhadap hukum Allah. Kami kira jawabannya sudah jelas. []