Dilema Kesabaran Menghadapi Stagnasi Ekonomi

Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA)

Fenomena perlambatan ekonomi, makin lugas menuju stagnasi hingga berdampak pada daya beli masyarakat. Hal ini pun berkelindan dengan pernyataan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Januari lalu. Yakni bahwa pertumbuhan ekonomi domestik berpotensi melambat menjadi 4,7% pada tahun 2020 ini.

Angka tersebut adalah wujud menurunnya pertumbuhan ekonomi. Padahal target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 adalah sebesar 5,3%. Sementara realisasi pertumbuhan ekonomi pada 2019 masih di angka 5,02%. Angka ini (4,7%) sungguh bagai mimpi buruk.

Tercatat, sejak masa pemerintahan lima tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi belum pernah tembus 5,2%. Pada 2014, ekonomi hanya tumbuh 5,01% bahkan sempat turun menjadi 4,88% pada 2015. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 2018 yakni 5,17%. Realita ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri, karena dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,6-6%. Ini adalah target besar.

Di samping itu, teror kemiskinan juga tak dapat diabaikan. Ini sebagaimana pernyataan Bank Dunia, bahwa 115 juta rakyat Indonesia rentan untuk kembali miskin. Padahal angka itu mewakili 45% dari seluruh jumlah rakyat Indonesia. Juga badai PHK di segala sisi. Ini semakin memperberat beban ekonomi yang dampaknya pasti terasa hingga level rumah tangga.

Sekedar pembanding dengan Indonesia, untuk negara-negara lain di Asia Tenggara, berdasarkan data Bank Dunia dan ADB, mereka mampu tumbuh di atas 6% pada 2019. Yakni Vietnam 6,97%, Kamboja 7%, Filipina 6,5%, Myanmar 6,6%, dan Laos 6,5%.

Sayangnya dalam menyikapi hal ini, pemerintah selalu berkelit dengan menyebut bahwa ketidakpastian global memukul ekonomi Indonesia. Padahal seharusnya pemerintah lebih gentle mengakui bahwa penyebab terbesarnya adalah masalah di dalam negeri. Masalah domestik-lah yang menyebabkan ketidakpastian ekonomi. Di antaranya, inkonsistensi regulasi, upah minimum yang berbeda-beda di setiap daerah, fluktuasi bahan pokok dan energi, pungutan liar, maraknya spekulan dan mafia pangan, korupsi, serta kerusakan infrastruktur.

Karena itu harus diakui pula, belakangan ini daya beli masyarakat memang stagnan. Malah cenderung menurun. Sejumlah tarif merangkak, bahkan melambung. Harga kebutuhan pokok, pun hingga biaya operasional pemanfaatan infrastruktur. Misalnya harga komoditas pertanian dan perkebunan sebagai sumber pangan terus naik, seperti harga jagung Indonesia yang termasuk paling mahal di dunia. Belum lagi sederet pajak dan denda yang dikenakan kepada rakyat.

Oleh karena itu, melambatnya ekonomi sebenarnya sangat tidak beralasan. Apalagi pemerintah sudah meluncurkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi, membangun infrastruktur 2-3 kali lipat tiap tahun dari pemerintahan sebelumnya, serta mengucurkan kredit usaha rakyat (KUR) hingga Rp190 triliun dan Dana Desa Rp74 triliun per tahun.

Lebih ironis lagi, ketika penguasa diingatkan oleh sejumlah pakar, sang petahana malah berkilah dengan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 5,02% (realisasi 2019) itu patut disyukuri alias jangan kufur nikmat.

Padahal tidaklah seyogyanya demikian. Pasalnya, persoalannya bukan masalah kufur nikmat atau tidak, melainkan ancaman yang bisa ditimbulkan jika pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi. Pemerintah semestinya lebih serius menangani permasalahan ini. Janganlah mudah mengeluarkan pernyataan ala santuy yang seolah-olah meredam gejolak publik tapi demi menutupi kegagalan rezim khususnya dalam pembangunan ekonomi, sedangkan optimalisasi urusan rakyat memang tidak tertunaikan. Apakah finalnya nanti pemerintah hanya akan meminta rakyat bersabar? Tidakkah lagi-lagi ini berujung pada dilema massal?

Sementara pada saat yang sama, para pemodal swasta yang kafir penjajah asing juga termasuk di dalamnya, justru diberi karpet merah untuk urun investasi, bahkan diberi hak kepemilikan istimewa di dalam negeri. Jadi sejatinya, keberpihakan pemerintah ini ke mana?

Sungguhlah, semakin ditutupi, malah semakin jelas bahwa sesungguhnya politik oligarki neokapital telah makin pekat mewarnai negeri ini. Kondisi ini harus menuntun pada kesadaran publik bahwa ada kesalahan sistemik atas pemberlakuan kapitalisme.

Banyak terbukti, bahwa relasi pemerintah kepada rakyat tak ubahnya produsen dan konsumen. Hubungannya jual-beli, bukan lagi antara pengurus dan pihak yang wajib diurus. Ini benar-benar mengingkari mandat dan amanah memimpin negara.

Ketika rakyat mengkritik, itu berbeda dengan mengeluh. Perlambatan ekonomi memang ujian. Dan ridho terhadap ujian memang wajib. Tapi sikap sabar yang harus kita tunjukkan adalah kritis menyampaikan kebenaran dan aktif mengoreksi penguasa. Karena stagnasi ekonomi memang perlu perubahan kebijakan. Janganlah kita salah memaknai sabar, apalagi mengatakan “jangan kufur nikmat” di tengah kedzholiman yang nyata.

Sudah waktunya kita beralih pada sistem yang jauh lebih baik. Buktinya, jika sistem kapitalisme ciptaan manusia digunakan untuk mengatur perkara asasi kebutuhan hidup, nyatanya tak mampu mengatasi hingga ke tingkat hakiki. Wajarlah jika akhirnya hidup sejahtera hanya ilusi.

Islam sebagai aqidah yang merealisasikan relasi keimanan yang sesuai fitrah, pasti mampu memberi solusi dengan. Yakni sistem ekonomi Islam yang dijalankan oleh pemerintah yang mengurusi urusan umat (ri’ayatusy syu’unil ummah).

Negara Khilafah selaku pelaksananya, akan meniscayakan sebuah mekanisme agar kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) terpenuhi. Khilafah juga akan membuka pos-pos muamalah di berbagai bidang agar ekonomi rakyat tidak mandeg. Metode pelaksanaannya sesuai fitrah, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa hingga mampu mengaktivasi kembali ekonomi yang sebelumnya terjebak stagnasi.[]

 

Share artikel ini: