Dikbudristek dalam Kendali Bos Unicorn, Akankah Jadi ‘Popcorn’?
Oleh : Nindira Aryudhani, S. Pi, M. Si (Koordinator LENTERA)
Menristek Bambang Brodjonegoro berpamitan sebagai Menristek pasca DPR RI menyetujui usulan pemerintah untuk meleburkan Kemenristek ke Kemendikbud (sindonews.com, 10/4/2021). Selanjutnya, Presiden Joko Widodo melantik Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (kompas.com, 28/4/2021).
Revolusi Industri 4.0, Era Disrupsi
Revolusi industri 4.0 adalah era disrupsi. Saat ini, gelombang disrupsi telah mewarnai segala aspek kehidupan manusia, seperti di dunia bisnis, teknologi, sosial, budaya, pemerintahan, dan politik. Dan hal ini terjadi di hampir tiap negara di dunia.
Revolusi industri 4.0 adalah sebuah kondisi pada abad ke-21, ketika terjadi perubahan besar-besaran di berbagai bidang lewat perpaduan teknologi yang mengurangi sekat-sekat antardunia fisik, digital, dan biologi.
Revolusi ini ditandai dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan, robot, teknologi nano, komputer kuantum, bioteknologi, internet of things, percetakan 3D, dan kendaraan tanpa awak semisal drone.
Meski revolusi industri 4.0 ini berpotensi meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia namun keberadaannya tetap bagai pisau bermata dua. Pasalnya, kemajuan di bidang otomatisasi dan kecerdasan buatan ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa mesin-mesin suatu hari akan mengambil alih pekerjaan manusia.
Selain itu, jika revolusi-revolusi sebelumnya masih dapat menghasilkan lapangan pekerjaan baru untuk menggantikan pekerjaan yang diambil alih oleh mesin, sementara kali ini kemajuan kecerdasan buatan dan otomatisasi dapat menggantikan tenaga kerja manusia secara keseluruhan yang digantikan oleh teknologi robotik. Dengan kata lain, revolusi industri 4.0 telah mengubah cara kerja manusia dari penggunaan manual menjadi otomatisasi atau digitalisasi.
Bonus Demografi, Generasi Muda Milenial, dan Startup
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2018), dari 67,59% penduduk Indonesia usia produktif, sekitar 59,93% adalah generasi milenial. Kondisi ini menunjukkan adanya bonus demografi. Bonus demografi merupakan fenomena langka karena hanya akan terjadi satu kali ketika proporsi penduduk usia produktif berada lebih dari dua pertiga jumlah penduduk keseluruhan. Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi pada tahun 2020-2035, dan puncaknya di tahun 2028-2030.
Generasi milenial sebagai penduduk terbesar, memiliki peran dominan dalam era bonus demografi. Generasi inilah yang akan menentukan arah dan roda pembangunan. Generasi milenial yang unggul dan memiliki kualitas yang mampu bersaing dengan dunia luar merupakan aset bangsa yang mampu membawa bangsa Indonesia menuju arah pembangunan yang lebih maju dan dinamis.
Karakteristik generasi milenial ini antara lain: (1) karakteristik masing-masing individu berbeda tergantung di mana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarganya; (2) pola komunikasi sangat terbuka dibanding generasi sebelumnya; (3) penggunaan media sosial yang sangat intensif dan kehidupannya sangat bergantung pada perkembangan teknologi; (4) lebih terbuka pada pandangan politik dan ekonomi.
Menilik potensinya menyambut era disrupsi, generasi milenial jelas sangat potensial menjadi pelaku di dunia startup. Selama satu dekade belakangan bisnis rintisan ini mulai berkembang pesat di Indonesia. Startup adalah perusahaan yang baru saja didirikan dan berada dalam fase pengembangan serta penelitian untuk menemukan pasar yang tepat (indonesiabaik.id, 29/3/2019).
Perusahaan-perusahaan rintisan berbasis teknologi alias startup memiliki tingkatan masing-masing. Tingkatannya diklasifikasikan berdasarkan nilai valuasi perusahaan. Dalam startup, kategori yang paling rendah adalah unicorn, kedua adalah decacorn, dan yang paling tinggi adalah hectocorn.
Dikbudristek Dalam Kendali Bos Unicorn?
Sebuah startup terkategori unicorn ketika mereka memiliki nilai valuasi US$ 1 miliar atau Rp 14,1 triliunan. Contohnya adalah Traveloka, Gojek, Tokopedia, dan BukaLapak (indonesiabaik.id, 29/3/2019).
Berikutnya, ketika perusahaan startup unicorn mengalami perkembangan yang pesat hingga mampu menembus valuasi perusahaan menjadi US$ 10 miliar, maka perusahaan tersebut sudah naik level menjadi decacorn. Daftar startup tersebut di antaranya WeWork, Airbnb, Pinterest, Snapchat, Uber, Xiaomi dan perusahaan penerbangan luar angkasa milik Elon Musk (SpaceX) dan Grab.
Sementara hectocorn merupakan tingkatan paling tinggi dari sebuah perusahaan teknologi maupun startup. Untuk mencapai ke sebuah perusahaan startup harus mampu meraih valuasi sebesar US$ 100 miliar atau Rp 1.410 triliunan. Dilihat dari nilai valuasinya, maka yang masuk ke kategori ini ada Facebook, Google, Microsoft, hingga Apple.
Mencermati data di atas dan mengaitkannya dengan reshuffle Kemendikbudristek, semoga kita terpantik bahwa di sana ada nama Nadiem Makarim yang juga pernah menjadi CEO Gojek, salah satu startup unicorn. Bahkan kini Gojek sudah naik tingkat menyandang status decacorn (kompas.com, 5/4/2019).
Kita tentu juga ingat alasan Presiden Jokowi ketika dulu memilih Nadiem sebagai Mendikbud. Yang tak lain adalah karena latar belakang Nadiem yang mendirikan perusahaan startup berbasis teknologi Gojek. Dan ini dianggap oleh Jokowi sebagai modal tersendiri (kompas.com, 24/10/2019).
Jokowi meyakini sosok Nadiem bisa menggunakan keahliannya di bidang teknologi untuk menerapkan standar pendidikan yang sama bagi 300 ribu sekolah dengan 50 juta pelajar yang tersebar di seluruh Indonesia.
Jadi, memang besar sekali kemungkinan bahwa Kemendikbudristek yang kini digawangi Nadiem, tak lain adalah upaya unicornisasi dan decacornisasi sektor dikbudristek. Namun yang berpeluang jadi masalah yang tak kalah besar adalah sejauh mana dampak digitalisasi sektor dikbudristek ini?
Kapitalisme-Sekuler Mengamputasi Ruh Pendidikan
Sudah bukan rahasia bahwa sistem pendidikan, terkhusus era pandemi, tengah karut marut. Learning loss dan lost generation adalah peluang buruk yang tampak nyata. Alih-alih bisa meraih ruh pendidikan dan keilmuan. Tersebab ini, secara rekam jejak, cita-cita kementerian baru Nadiem kemungkinan agak terseok-seok ke depannya.
Apalagi, parameter yang ia gunakan untuk menciptakan generasi berkualitas hanya dari aspek dikbudristek. Tanpa memasukkan alasan paling mendasar (akidah) bagi manusia untuk belajar dan menjadi pembelajar, yang semestinya hal ini dikembalikan pada posisi manusia sebagai makhluk Allah.
Padahal, kesadaran posisi manusia sebagai makhluk Allah ini adalah aspek paling vital untuk mewujudkan ruh pendidikan itu sendiri. Yang dengannya, pendidikan berkontribusi pada pembentukan kepribadian peserta didik, yakni kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiah).
Allah SWT berfirman : “… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (TQS Al-Mujadalah [58]: 11).
Ayat di atas menyandingkan aspek iman dan ilmu. Dengan kata lain, ayat ini mengandung mandat tentang fungsi akidah sebagai instrumen utama bagi ruh pendidikan. Yang karenanya, sistem pendidikan Islam adalah satu-satunya sistem pendidikan yang menghasilkan sosok generasi berkepribadian Islam.
Karenanya, konsep unicornisasi dan decacornisasi sektor dikbudristek ini tak ubahnya kelanjutan upaya sekularisasi generasi, yang justru mengamputasi ruh pendidikan dan iptek. Na’udzubillaahi.
Hasil akhirnya, takkan jauh-jauh dari sosok-sosok pintar dan kaya, namun materialistis dan kering ruhiyahnya.
Khatimah
Akibat berikutnya sudah bisa ditebak. Para ilmuwan dan insan terdidik produk dikbudristek ala sekuler hanya akan difungsikan sebagai onderdil ekonomi demi tetap berputarnya mesin uang bagi kapitalisme.
Tak pelak, keilmuan mereka jadi minus keberkahannya karena manfaatnya hanya bisa dinikmati oleh para pemodal. Bukan masyarakat luas. Ibarat kata, unicornisasi dan decacornisasi sektor dikbudristek justru hanya akan menjadikannya makin ‘kriuk’ seperti popcorn bagi mereka yang menikmati bioskop kezaliman. Dan pihak-pihak penadah rente dan profit box office kebatilan.[]