Mediaumat.id – Upaya mengait-ngaitkan Hizbut Tahrir Indonesia dengan perempuan pembawa pistol FN dinilai sebagai propaganda jahat terhadap ormas yang sudah dicabut badan hukum perkumpulannya (BHP) tersebut. “Propaganda jahat terhadap HTI,” ujar Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan dalam pers rilis yang diterima Mediaumat.id, Jumat (28/10/2022).
Setidaknya ada empat pendapat hukum (legal opini) yang menjadi argumen Chandra sehingga dirinya menyimpulkan demikian.
Pertama, berdasarkan literatur yang pernah dibacanya, HTI dalam menyampaikan dakwah dengan pendekatan pemikiran, dialektika, adu gagasan, tanpa kekerasan, tanpa fisik dan tanpa melakukan pemaksaan. “Begitu juga secara de facto dan de jure, tidak ada satu jiwa pun yang meninggal karena dakwah HTI atau fasilitas publik yang rusak akibat dakwah HTI,” ujarnya.
Kedua, segala fitnah dan tuduhan keji terhadap organisasi dakwah HTI adalah tidak adil dan melanggar hukum, karena tidak mengedepankan asas hukum due process of law yaitu memberikan kesempatan kepada pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan.
“Lantas bagaimana HTI akan melakukan pembelaan diri, sedangkan BHP-nya saja telah dicabut,” ujarnya.
Padahal, lanjutnya, asas persamaan kedudukan dalam hukum menyatakan, ‘Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil ….’
Ketiga, segala tuduhan dan fitnah berupa narasi polarisasi yang bersifat indelingsbelust (pengkotak-kotakan) yang mengarah kepada kebohongan publik adalah tindakan melanggar Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Keempat, jika “pelaku teror” dituduh terdapat keterkaitan medsos (misalnya like, share, nonton video, baca) dengan tulisan atau ceramah ustaz atau ulama HTI tentu saja tidak serta-merta bisa dikaitkan dengan HTI.
“Pertanyaannya bagaimana kalau seseorang yang dituduh teroris sering menonton pidato, pernyataan pejabat negara. Apakah bisa disebut juga terdapat keterkaitan antara pelaku teror dengan pejabat negara?” ungkapnya retoris.
Jika itu terjadi, tegas Chandra, maka menandakan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam keadaan darurat represif. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip hukum cogitationis poenam nemo patitur atau tidak ada seorang pun yang dapat dihukum atas apa yang ia pikirkan.[] Joko Prasetyo