Diduga Bendera Tauhid Dipersoalkan Kepolisian Resor Banjar?

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H.,M.H., (Ketua Eksekutif BHP KSHUMI & Sekjen LBH PELITA UMAT)

Berdasarkan informasi yang beredar dimedia sosial bahwa diduga Polisi Resor Banjar mengeluarkan surat nomor B/1241/XI/BIN.1.1/2019 tanggal 28 Nopemver 2019, terkait larangan membawa bendera ar-rayah dan al-liwa (bendera tauhid), sehubungan dengan adanya aktivitas kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum untuk menyampaikan aspirasi proses hukum terhadap adanya dugaan penistaan agama oleh Sukmawati yang dilakukan oleh Aliansi Musim Kota Banjar (AL MUTABAR).

Berkenan dengan hal tersebut diatas, saya memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa tidak ada putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan atau produk hukum lainnya yang melarang mencetak, mengedarkan dan mengibarkan bendera tauhid berlafadz kan “laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah”. Tindakan mencetak, mengedarkan dan mengibarkan bendera tauhid berlafadz kan “laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah” bukan perbuatan melanggar hukum dan/atau tidak ada delik pidana atas hal tersebut, sehingga bagi masyarakat tidak perlu takut;

KEDUA, bahwa Menurut anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Mahfud MD berpendapat bendera tauhid bukan merupakan bendera kelompok radikal. Hal itu disampaikan Mahfud saat menjadi pembicara dalam Halaqah Alim Ulama di Solo, Sabtu, 31 Agustus 2019. Oleh karena itu tidak ada masalah dengan bendera tauhid, masyarakat tidak perlu takut;

KETIGA, bahwa didalam surat yang beredar diduga dari Resor Banjar tersebut menyatakan landasan pelarangan berdasarkan pasal 59 ayat (4) UU No 16 tahun 2017. Bahwa perlu saya sampaikan didalam UU tersebut tidak ada satupun norma atau frasa yang menyebut bendera Al Liwa dan Ar Rayah, atau bendera Tauhid, atau Bendera Rasulullah yang merupakan simbol, lambang atau atribut dari organisasi HTI. Bendera tauhid adalah bendera kaum muslimin dan simbol agama Islam;

Adapun lengkap bunyi pasal dimaksud sebagai berikut :

“(4) Ormas dilarang: menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang”

KEEMPAT, Bahwa terkait organisasi dakwah HTI, tidak ada satupun keputusan, Peraturan perundang-undangan atau produk hukum yang menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang. Berbeda kasus dengan HTI, contoh faktual organisasi yang dibubarkan, dinyatakan terlarang dan paham yang diemban juga dinyatakan sebagai paham terlarang, yakni kasus pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terbukti telah memberontak kepada negara. Melalui TAP MPRS NO. XXV/1966, didalamnya tegas menyebutkan tiga hal. Pertama, pernyataan pembubaran PKI. Kedua, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang. Ketiga, pernyataan pelarangan paham atau ideologi yang diemban PKI yakni marxisme/leninisme, atheisme, komunisme.

Bahwa HTI tidak pernah melakukan kudeta dan pemberontakan. HTI murni berdakwah dengan pendekatan pemikiran, tanpa kekerasan dan tanpa fisik. Methode dakwah HTI adalah sebagaimana dicontohkan oleh Nabi SAW. Semua materi dakwah yang disampaikan murni ajaran Islam dan tidak ada satupun yang menyimpang darinya. Tidak ada satupun jiwa yang meninggal karena menjadi korban dakwah HTI atau fasilitas publik yang rusak akibat dakwah HTI. Berbeda dengan PKI yang terbukti membunuh para pahlawan revolusi dan terbukti melakukan kudeta.

KELIMA, bahwa Bendera tauhid, berulangkali diframing sebagai bendera terlarang. Bendera ormas. Bendera teroris. Entah sampai kapan rezim akan menebar tudingan dan fitnah ini?. Apabila hal ini berlanjut, maka akan memperkuat praduga dari masyarakat bahwa rezim Jokowi anti Islam;

KEENAM, bahwa tindakan Kepolisian Resor Banjar yang membuat ‘Framing secara Hukum’ dengan menyebut bendera Al Liwa dan Ar Rayah, atau bendera Tauhid, atau Bendera Rasulullah yang merupakan simbol, lambang atau atribut dari organisasi HTI yang dilarang Pemerintah berdasarkan pasal 59 ayat (4) UU No 16 tahun 2017 adalah tindakan yang tidak patut, tidak berdasar hukum, bahkan berpotensi menebar fitnah keji terhadap lambang dan simbol kemuliaan agama Islam.

Wallahu alam bishawab

Share artikel ini: