Oleh: Hadi Sasongko
Semangat berinovasi dalam pendidikan menjadikan suatu negara bisa memimpin dunia dalam bidang ilmu pengetahuan dan pembelajaran. Pada era kejayaan Islam, begitu dahsyatnya hingga banyak tokoh elit di luar negeri negeri kaum muslimin, meminta agar warga negaranya mendapatkan pendidikan di dalam Negara Daulah pada berbagai periode dalam sejarah. Kekhalifahan yang terakhir adalah kekhilafahan Usmani di Turki, yang memiliki model pendidikan terkemuka yang menandingi hampir seluruh institusi yang ada pada saat ini. Menurut Lord Paul Rycaut (diplomat Inggris, sejarawan, pakar tentang kesultanan Usmani), “sistem pendidikan dan kedisiplinan dalam kesultanan Turki adalah kekuatan utama dari politiknya, dan elemen yang paling penting yang menopang kesultanannya. Dalam sistem ini, kekayaan ataupun suap tidak menjadi sesuatu yang inheren pada kelas atas dan bukan pula sesuatu yang terpuji, semua itu adalah sesuatu yang tidak sah; justru diaplikasikan kebajikan, kebijaksanaan, ketekunan dan kedisiplinan. Sultannya sendiri tampil sebagai seseorang dengan seluruh karakter tersebut”.
Mengingat bahwa 600 tahun rentangan masa Kekhilafahan Usmaniyah menjangkau wilayah sebesar 14 juta km persegi, yang meliputi wilayah Siprus Turks, Yunani, Bulgaria, etnis Pomaks (kaum muslimin di Slavic), Serbia, Kroasia, Montenegro, Bosnia, Albania, Hungaria, etnis Poles di polandia, Romania, Armenia, Georgia, Syria, Chaldean, Arab, Persia, kurdi, koptik, Ethiopia, etnis Berber (Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Mesir, Mali, Nigeria, Mauretania). Komentar Rycaut membuktikan, betapa sistem pendidikan dalam Khilafah adalah yang paling inklusif, dimana kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri didapatkan oleh siapa saja tanpa kecuali, sebuah perkara yang tidak mampu dicapai dalam tataran komprehensif oleh model politik manapun yang sedang berlaku pada saat ini. Dengan sejumlah besar komposisi kelompok etnis dan budaya di dalam naungan satu kekuasaan, kita juga bisa melihat bagaimana sistem pendidikan Islam menjadi pemersatu, karena nasionalisme tidak bernilai dalam ideologi Islam, ayat dari al-Quran yang diajarkan seperti :
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [Quran Al Hujurat ayat 13]
﴿وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّلْعَالِمِينَ﴾
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” [Quran Ar Rum ayat 22]
Dengan memperkenalkan ide-ide ini kepada para pemuda, kepribadian terbentuk sejak usia dini agar menjadi toleran dan manusiawi kepada semua orang, sebagaimana mereka disatukan sebagai warga negara Khilafah, sehingga persaingan dan kebencian sektarian diminimalisasi yang pada akhirnya mengembangkan dan memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat.[]