Mediaumat.id – Perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, dinilai mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada ‘persetujuan korban’.
“Dengan ‘persetujuan korban’, maka pihak mana pun tidak dapat mempersoalkan termasuk orang tua korban,” ujar Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pelita Umat (LBH PU) Chandra Purna Irawan, dalam salah satu butir pers rilis legal opini yang diterima Mediaumat.id, Jumat (12/11/2021).
Seperti diketahui, pada September 2021, Nadiem Makarim, orang nomor satu di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Namun, tidak seperti judul peraturan, frasa yang termuat di pasal 5 ayat (2) tersebut, menurut Chandra justru telah mendegradasi substansi kekerasan seksual itu sendiri. Sehingga ia khawatir hal itu menjadi legitimasi bagi siapa pun yang ingin melakukan seks di luar pernikahan berbasis persetujuan.
Tak hanya itu, ia juga berpendapat bahwa permendikbudristek tersebut tak seharusnya mengatur materi muatan, semisal norma pelanggaran seksual berikut ragam sanksinya. “Materi muatan seharusnya diatur dalam level undang-undang,” jelasnya.
Di sisi lain, legalisasi perbuatan asusila atau zina yang berbasis persetujuan tersebut, ia pandang sebagai bentuk pengingkaran nilai agama atau syariah Islam. Khususnya, prinsip ‘Ketuhanan yang Maha Esa’.
Oleh karena itu, ia menegaskan, LBH PU akan mempertimbangkan untuk melakukan gugatan atau hak uji materi (HUM) atas peraturan tersebut. “Sudah semestinya permendikbudristek tersebut dicabut atau direvisi,” pungkasnya.[] Zainul Krian