Oleh: Yuana Ryan Tresna |Pengasuh Majlis-Ma’had Darul Hadits Khadimus Sunnah Bandung
Terdapat pada Banyak Hadits Shahih
Bahwa terdapat banyak hadits shahih atau minimal hasan yang menyebutkan bahwa al-Rayah (panji) Rasul berwarna hitam dan al-Liwa (bendera)nya berwarna putih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
Sungguh aku akan memberikan al-Rayah kepada seseorang yang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Liwa’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna putih dan Al-Rayah beliau berwarna hitam. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
Al-Rayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam dan al-Liwa’ beliau berwarna putih (HR. Al-Tirmidzi, Al-Baihaqi, Al-Thabarani dan Abu Ya’la).
Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu juga menuturkan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dan al-Liwa’ beliau berwarna putih (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim, hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, Al-Thabarani, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Ya’la. Hadits ini shahih. Secara jelas dikatakan bahwa warna al-Rayah adalah hitam dan al-Liwa adalah putih. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak kitab hadits, dimana semuanya berujung pada rawi shahabat Jabir dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.
Para ulama sudah membahas hal ini ketika mereka semua menjelaskan hadits-hadits diatas dalam kitab syarah dan takhrijnya. Sebut saja seperti Kanz al-Ummal, Majma’ al-Zawa’id, Fath al-Bari, Tuhfah al-Ahwadzi, Umdah al-Qari, Faidh al-Qadir, dll. Belum lagi dalam kitab sirah dan maghazi yang diantaranya memiliki sanad kuat.
Riwayat Dha’if
Memang ada beberapa hadits yang berbicara al-Rayah dan al-Liwa dengan status hadits yang dipersoalkan oleh para ulama, seperti hadits riwayat Ahmad berikut ini,
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ حَسَّانَ الْبَكْرِىِّ قَالَ قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الْمِنْبَرِ وَبِلاَلٌ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيْهِ مُتَقَلِّدٌ السَّيْفَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَإِذَا رَايَاتٌ سُودٌ وَسَأَلْتُ مَا هَذِهِ الرَّايَاتُ فَقَالُوا عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ قَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ
Dalam hal ini Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya memberikan catatan sebagai berikut,
إسناده ضعيف لانقطاعه عاصم بن أبي النجود لم يدرك الحارث بن حسان بينهما أبو وائل شقيق بن سلمة
Demikian juga dengan hadits riwayat Imam Al-Thabarani berikut,
عن ابن عباس قال : « كانت راية رسول الله صلى الله عليه وسلم سوداء ولواؤه أبيض ، مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله
Di sana ada rawi bernama أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين بن سعد بن مفلح بن هلال yang disebut sebagai tertuduh dusta متهم بالوضع.
Lafazh ‘La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah’
Berikutnya adalah tentang lafazh. Apakah hadits مكتوب عليه : لا إله إلا الله محمد رسول الله semuanya dha’if? Kita harus kaji dari semua jalur periwayatan, sebagai berikut:
(1) hadits riwayat Al-Thabarani dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu statusnya dha’if karena ada rawi yang bernama أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين tertuduh dusta (متهم بالوضع);
(2) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu statusnya dha’if karena ada rawi yang bernama Muhammad bin Abi Humaid statusnya munkar oleh Al-Bukhari, tidak tsiqah menurut Al-Nasa’i, dan tidak ditulis haditsnya menurut Ibnu Ma’in:
(3) hadits riwayat Abu Syaikh al-Ashbahaniy dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu diperselisihkan, dan saya -atas dasar pengetahuan yang sedikit ini- memilih pendapat yang mengatakan shahih.
Jadi dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Syaikh al-Ashbahaniy dalam Akhlaq al-Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Abbas statusnya shahih. Jalur Ibnu Abbas ini, semua rawinya dapat diterima, sebagai berikut:
– أحمد بن زنجوية بن مسى : قال الخطيب كان ثقة وقال الذهبي كان موثقا معروفا
– محمد بن أبي السري العسقلاني : قال ابن معين ثقة وقال الذهبي ثقة
– عباس بن طالب البصري : قال ابن عدي صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال ابن حجر بصري صدوق
– حيان بن عبيد الله بن حيان : قال أبو حاتم صدوق وذكره ابن حبان في “الثقات” وقال أبو بكر البزار ليس به باس
– أبو مجلز لاحق بن حميد: تابعي ثقة
Dari semua rawi tersebut yang diperdebatkan adalah Hayyan bin Ubaidillah. Sebagian mengatakan dha’if karena tafarrud (seperti pendapat Ibnu Ady), tetapi Ibnu Hibban menempatkan dalam “al-Tsiqqat’, Abu Hatim mengatakan shaduq, Abu Bakar al-Bazar mengatakan masyhur. Tafarrudnya Hayyan bin Ubaidillah tidak memadharatkan hadits karena keadaannya tsiqah atau shaduq (lihat Muqaddimah Ibn Shalah). Demikian juga ikhtilath nama antara Hayyan bin Ubaidillah (حيان) dan Haban bin Yassar (حبان) sudah dijelaskan oleh para ulama, semisal dalam Tarikh al-Kabir, Tahdzib al-kamal, al-Kamil fi al-Dhu’afa, Mizan al-I’tidal, dll. Penjelasan terkait dengan tafarrud dan ikhtilath Hayyan bin Ubaidillah bisa dijelaskan dalam tulisan khusus. Kesimpulannya, hadits dari Abu Syaikh dari jalur Ibnu Abbas maqbul.
Dengan demikian jelaslah bahwa pada al-Rayah dan al-Liwa’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertulis kalimat tauhid La ilaha illallah Muhammad Rasulullah, sebagaimana hadits penuturuan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ مَكْتُوْبٌ فِيْهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
Al-Rayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam dan al-Liwa’ beliau berwarna putih; tertulis di situ la ilaha illa Allah Muhammad RasululLah (HR. Abu Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlaq an-Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Warna
Terkait warna, hadits-hadits shahih menyebutkan bahwa warna al-Rayah adalah hitam dan al-Liwa’nya adalah putih. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan warna lain seperti kuning dan merah, memang ada, tetapi kualitasnya dha’if dan ada yang sifatnya sementara.
Hadits riwayat Abu Dawud, yang juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ibnu Adi, menyebutkan bahwa al-Rayah Nabi adalah kuning.
حَدَّثَنَا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ حَدَّثَنَا سَلْمُ بْنُ قُتَيْبَةَ الشَّعِيرِىُّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ آخَرَ مِنْهُمْ قَالَ رَأَيْتُ رَايَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَفْرَاءَ.
Menurut shahib al-Badr al-Munir, dalam isnadnya majhul.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Thabarani dan Abu Nu’aim al-Ashbahani,
عن جدته مزيدة العصرية ، « أن رسول الله صلى الله عليه وسلم عقد رايات الأنصار وجعلهن صفراء »
Hadits ini dha’if karena ada rawi bernama Hudu bin Abdullah bin Sa’d yang dinyatakan tidak tsiqah oleh Ibnu Hibban dan nyaris tidak dikenal menurut al-Dzahabi.
Demikian juga hadits dalam riwayat Al-Thabarani menyebutkan bahwa warna al-Rayah Nabi adalah merah,
“أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَقَدَ رَايَةً لِبَنِي سُلَيْمٍ حَمْرَاءَ”.
Hadits ini dha’if karena ada rawi yang tidak dikenal menurut al-Haitsami dan Ibnu Hajar.
Terakhir, hadits riwayat Imam Ibnu Hibban, Ahmad, dan Abu Ya’la yang juga menyebutkan al-Rayah berwarna merah dan statusnya shahih, kasusnya sementara di awal-awal urusan ini ketika di masa jahiliyah juga awalnya menggunakan al-Rayah warna hitam,
وكان أمام هوازن رجل ضخم ، على جمل أحمر ، في يده راية سوداء ، إذا أدرك طعن بها ، وإذا فاته شيء بين يديه ، دفعها من خلفه ، فرصد له علي بن أبي طالب رضوان الله عليه ، ورجل من الأنصار كلاهما يريده
Bentuk
Bentuk Al-Rayah dan Al-Liwa’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu persegi empat. Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
أَنَّ رَايَة رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم كَانَتْ سَوْدَاء مُرَبَّعَة مِنْ نَمِرَة
Al-Rayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam, persegi empat, terbuat dari kain wol Namirah (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasa’i dan Al-Baghawi).
Fungsi dan Kegunaan
Apakah fungsinya hanya untuk perang? Memang awalnya begitu,al-Rayah adalah panji-panji perang, dan al-Liwa simbol kepemimpinan umum. Hal ini bertolak dari fakta bahwa al-Liwa dan al-Rayah itu selalu dibawa oleh komandan perang di jaman Rasulullah dan para Khulafa Rasyidin. Misalnya pada saat Perang Khaibar. Demikian juga, al-Rayah dan al-Liwa sebagai pemersatu umat Islam. Imam Abdul Hayy Al-Kattani menjelaskan rahasia (sirr) tertentu yang ada di balik suatu bendera, yaitu jika suatu kaum berhimpun di bawah satu bendera, artinya bendera itu menjadi tanda persamaan pendapat kaum tersebut (ijtima’i kalimatihim) dan juga tanda persatuan hati mereka (ittihadi qulubihim).
Tulisan dan Khat
Terkait tulisan dan khat, dan ukuran itu hanyalah perkara teknis, yang dalam sejarahnya hal tersebut tidak diatur secara rinci. Tentu saja tidak bijak kalau persoalan teknis ini dijadikan argumetasi untuk menggugurkan syariat terkait al-Rayah dan al-Liwa’. Itu juga yang terjadi pada khat penulisan al-Qur’an. Ketidak-pastian khat tidak boleh menjadi dasar penolakan pada al-Qur’an.
Seperti halnya ketika ada dalil umum yang tidak dijelaskan wasilahnya, maka berarti wasilah tersebut mubah. Jadi ini bukan isu utama. Saya kira persoalannya sederhana, tidak malah menjadi rumit pada perkara yang memang mubah. Yang paling penting itu bahwa al-Rayah (hitam) dan al-Liwa (putih) dengan tulisan لا إله إلا الله محمد رسول الله adalah perkara yang masyru’.
Penamaan
Adapun penamaan al-Rayah dengan sebutan al-uqab, terdapat beberapa hadits sebagai berikut:
Hadits riwayat Al-Baihaqi,
عن عائشة ، قالت : « كان لواء رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الفتح أبيض ورايته سوداء ، قطعة مرط مرجل ، وكانت الراية تسمى العقاب
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah,
عن الحسن قال كانت راية النبي صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
Hadits riwayat Ibnu Adiy,
عن أبي هريرة كانت راية رسول الله صلى الله عليه و سلم سوداء تسمى العقاب
Dan masih banyak hadits lainnya. Dari semua hadits tersebut derajatnya dha’if karena berbagai sebab (mudallas, matruk, tidak tsiqah, majhul, dll). Terlalu panjang kalau dijabarkan disini. Meski demikian, nama al-uqab sangat masyhur di kalangan para ahli sirah/sejarah, maghazi, fiqih, dan hadits untuk menyebut bendera Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian pihak rupanya hanya kritik dalil (hadits) panji dan bendera Rasulullah, tetapi tidak menggugat dalil bendera negara bangsa yang tidak punya dalil sedikitpun, walau hanya atsar yang dha’if. Maka bersikap adil-lah.
Harus Diagungkan
Lafazh “لا إله إلا الله محمد رسول الله” merupakan ‘alamah atau ciri khusus dalam Islam. Ciri keagungan Islam kalau bukan kalimat tauhid, lantas apa lagi? Karena misi Islam dalam dakwah dan jihad adalah dalam rangka meninggikan kalimat Allah Azza Wa Jalla. Sebagai simbol tauhid (aqidah Islam) al-rayah dan al-liwa merupakan syi’ar pemersatu. Bendera fanatismelah yang merupakan propaganda pemecah-belah. Bendera bukan tanda ketauhudin seseorang, tetapi syi’ar akan keagungan kalimat tauhid.
Lafazh itu adalah harga bagi surga. Suatu saat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mendengar muadzin mengucapkan ’Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau mengatakan pada muadzin tadi,
خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ
Engkau terbebas dari neraka. (HR. Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga. (HR. Abu Daud)
Lafazh tersebut juga merupakan dzikir yang paling utama. Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam (hadits marfu’),
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Dzikir yang paling utama adalah bacaan ’laa ilaha illallah’. (HR. Al-Tirmidzi)
Kalimat tauhid adalah yang menyatukan bangsa dan warna kulit, menjadikan umat Islam kuat, dan pengingkaran pada penghambaan selain pada Allah, hanya berhukum pada aturan Allah dan mengingkari aturan selain dari padaNya.
Pembakaran
Pembakaran bendera tauhid (al-Rayah) akhir-akhir ini merupakan tindakan pelecehan yang tidak dapat dibenarkan. Keliru juga jika diqiyaskan dengan pembakaran al-Qur’an pada masa Utsman. Konteks pembakaran mushaf di masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu adalah: (1) Standarisasi mushaf, sehingga teks yang dipakai hanya teks yang diproduksi pemerintah, yang tentunya standar dalam masalah jumlah halaman, baris, bentuk kata. Adapun isinya tetap sama; dan (2) Standarisasi mushaf dilakukan oleh pemegang otoritas syari’at, yakni di antara Khulafa Rasyidin, yang wajib ditaati. Apa yang diputuskannya masuk dalam bagian syari’at Islam. Sehingga kalau diqiyaskan dengan pembakaran bendera tauhid oleh salah satu oknum ormas tertentu adalah salah kaprah (qiyas ma’al fariq).
Demikian juga terlalu dipaksakan jika diqiyaskan dengan hukum pembakaran al-Qur’an agar tidak tercecer dan terhinakan. Jika mushaf atau lembaran bertuliskan al-Qur’an itu sudah tidak terpakai, dan dikhawatirkan terhinakan jika masih dalam bentuknya, maka dianjurkan ia dibakar, sebagai penghormatan terhadap al-Qur’an dan menjauhkannya dari penghinaan. Sebaliknya, jika mushaf atau lembaran al-Qur’an itu masih terpakai, kemudian dibakar karena kebencian terhadapnya atau kebencian terhadap muslim yang menggunakannya, ini jelas haram.
Melepaskan Bendera Fanatisme
Kebalikan dari panji agung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah panji fanatisme. Rasul bersabda,
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبَةِ وَيُقَاتِلُ لِلْعَصَبَةِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ خَرَجَ مِنْ أُمَّتِى عَلَى أُمَّتِى يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لاَ يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِى بِذِى عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي
Siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah-belah jamaah (umat Islam), lalu mati, dia mati dalam keadaan mati jahiliah. Siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang keluar dari umatku untuk memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya, serta tidak takut akibat perbuatannya atas orang Mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukanlah bagian dari golonganku.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Nasa’i).
Dalam redaksi lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَخَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ فَمَاتَ فَمِيتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِى بِسَيْفِهِ يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لاَ يُحَاشِى مُؤْمِناً لإِيمَانِهِ وَلاَ يَفِى لِذِى عَهْدٍ بِعَهْدِهِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يُقَاتِلُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يَدْعُو إِلَى الْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
Siapa saja yang memecah-belah jamaah dan keluar dari ketaatan, lalu mati, maka dia mati jahiliah. Siapa saja yang keluar menyerang umatku dengan pedangnya, ia memerangi orang baik dan orang jahatnya, tidak takut akibat perbuatannya menimpa orang Mukmin karena keimanannya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, atau berperang untuk ‘ashabiyah atau menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah (HR. Ahmad).
Imam al-Al-Baihaqi mengeluarkan hadits ini dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Hurairah dengan redaksi,
… وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ، وَيَنْصُرُ لِلْعَصَبِيَّةِ، وَيَدْعُوْ لِلْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
…Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, menolong karena ‘ashabiyah dan menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah.
Maknanya adalah haram menyeru, membela dan berperang demi ‘ashabiyah. Hadits di atas, meski redaksinya berita, karena disertai celaan, maknanya adalah larangan. Qarinah yang ada menunjukkan ketegasan larangan itu, yaitu qarinah “falaysa min ummati” atau “faqitlatuhu jahiliyyah” atau disebut sebagai al-Rayah ‘ummiyah.
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menyatakan, “Al-Rayah ‘ummiyyah adalah perkara buta yang tidak jelas arahnya. Begitulah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.” Mula Ali al-Qari di dalam Mirqah al-Mafatih mengatakan, “Di dalam kamus al-‘ummiyyah artinya kesombongan (al-kibru) dan kesesatan (al-dhalal).”
Catatan Akhir
Eksistensi/keberadaan al-liwa’ dan ar-rayah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa terbantahkan, termaktub dalam hadits-hadits shahih.
Riwayat yang menerangkan bahwa al-liwa’ berwarna putih dan ar-rayah berwarna hitam ada dalam banyak hadits yang statusnya diperselisihkan oleh para ulama, karena ada beberapa rawi yang dinilai berbeda oleh ulama jarh wa ta’dil. Dengan berpijak pada penilaian sebagian ahli hadits yang menshahihkan, hadits tersebut maqbul. Demikian juga dengan banyaknya jalan periwayatan maka status hadits yang dhaifnya ringan terangkat menjadi hasan lighairihi. Artinya sah dijadikan sebagai hujjah.
Perbedaan warna tidak menafikan satu sama lain. Bisa saja Rasulullah memiliki beberapa warna. Semua ada haditsnya. Hanya saja warna hitam untuk ar-rayah dan putih untuk al-liwa lebih kuat dari pada yang menyebutkan warna merah dan kuning. Meski bukan suatu keharaman jika menggunakan dengan warna lain seperti merah dan kuning.
Lafazh kalimah tauhid pada al-liwa’ dan ar-rayah juga diperselisihkan. Riwayat Abu Syaikh al-Ashbahani dari Abu Hurairah dan riwayat at-Thabarani dari Ibnu Abbas kelemahannya sangat parah. Tetapi ada riwayat Abu Syaikh al-Ashbahani dari Ibnu Abbas yang rawi-rawi diterima oleh sebagian ulama. Kendatipun ada yang mendhaifkan, kelemahannya tidak parah.
Kalimah tauhid adalah simbol keagungan dan persatuan. Kalimah tauhid juga pada waktu itu adalah simbol penyebaran Islam melalui jihad. Maka perkara yang tidak menyelisihi syariat jika ia menjadi tulisan pada al-liwa’ dan ar-rayah.
Hadits terkait al-liwa’ dan ar-rayah bukanlah terkait hukum halal dan haram. Seharusnya didudukkan seperti dalam perkara fadhilah amal dan targhib wa tarhib. Para ulama menetapkan syarat yang longgar dalam perkara ini. Mayoritas ulama termasuk ahli hadits tidak terlalu tasyaddud (ketat) dalam hal sejarah, dll. Apalagi ditemukan riwayat yang sangat banyak, meskipun setiap satuannya selalu ada rawi cacat hafalan, namun secara keseluruhan mengindikasikan ada pokok yang kuat.
Memang bendera tersebut sering digunakan saat perang, namun apakah ada larangan utk dikibarkan diluar perang? Kalau tidak ada larangan mengapa ada pihak yang mempersoalkan. Selama tidak ada larangan berarti tidak dilarang, apalagi kalau niatnya meninggikan kalimat Tauhid. Syi’ar Islam. Dalil umumnya jelas ada. Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu riwayat membawa bendera tersebut pada saat fath al-Makkah (bukan kondisi perang)
Menganggap hadits-hadits al-liwa dan ar-rayah sebagai hadits mardud bahkan palsu yang tidak dapat dijadikan sebagai sandaran adalah penyesatan.
…
[Selasa, 23 Oktober 2018, sebuah tulisan lama saya (Tanggapan terhadap Nadirsyah Hosen awal 2017 lalu) yang didaur ulang]