Di Sidang MK, Ahli yang Dihadirkan HTI Sebut Penerbitan Perppu Ormas Tidak Logis
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) tidak logis.
Apalagi, jika pemerintah mengacu pada kegiatan Muktamar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang digelar pada 2013 lalu.
Kegiatan tersebut terekam dan ditayangkan pada sidang uji materi di MK karena menjadi salah satu bahan keterangan yang disampaikan pemerintah dalam menerbitkan Perppu Ormas.
Menurut Margarito, mengacu pada video tersebut, tidak ada keadaan genting yang memaksa dalam penerbitan Perppu Ormas.
“Peristiwa (di dalam) video tidak bisa menjadi dasar untuk merumuskan peristiwa genting,” ujar Margarito, dalam sidang terkait Perppu Ormas di MK, Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Margarito merupakan Ahli yang dihadirkan HTI untuk memberikan keterangan kepada MK perihal gugatan yang diajukan.
Margarito menjelaskan, keorganisasian HTI pada 2013 belum berbadan hukum yang sah dan hanya memegang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri.
Pada 2014, HTI resmi berbadan badan hukum dan terdaftar secara sah di Kemenkumham.
Menurut Margarito, dengan diterimanya HTI sebagai organisasi yang terdaftar memiliki legalitas hukum di Kemenkumham, maka menggugurkan asumsi bahwa negara dalam keadaan genting sehingga perlu diterbitkan Perppu.
Sebab, dengan demikian, HTI diterima oleh pemerintah.
“Saya maknai menggugurkan keadan hukum sebelumnya, karena diterima (Kemenkumham),” kata Margarito.
Ia menilai, jika memang pemerintah menilai HTI perlu dibubarkan, maka sedianya dilakukan pada 2013 lalu.
“Sontak segera kok (menunggu) 4 tahun? Betul-betul tidak logis. Keadaan 2013 gugur dan tidak cukup alasan hukum mengkonstruksi hal ihwal keadaan genting dan mennjadikan presiden menggunakan hak ekslusifnya,” kata Margarito.
Juru Bicara HTI Ismail Yusanto menggugat berlakunya Perppu Ormas.
Menurut dia, penerbitan Perppu Ormas tidak dalam keadaan yang mendesak dan dalam situasi yang genting, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.
Selain itu, ia juga mempersoalkan sejumlah pasal yang ada di dalam Perppu Ormas, yakni Pasal 59 Ayat 4 huruf c sepanjang frasa “menganut”, Pasal 61 Ayat 3, Pasal 62, Pasal 80, dan Pasal 82A.[]
sumber: kompas.com (6/9/2017)