Di Mana Ada Korupsi di Situ Ada Politisi dan Oligarki
Mediaumat.id – Wartawan Senior Asyari Usman mengatakan di mana ada korupsi di situ ada politisi dan oligarki.
“Mudah saja memahami mengapa di mana ada korupsi selalu ada politisi selalu ada oligarki, karena memang ini siklus,” ungkapnya di rubrik Dialogika: SOS; Kenapa Politisi, Korupsi & Oligarki Bergandengan? melalui kanal YouTube Peradaban Islam ID, Sabtu (13/5/2023).
Menurutnya, para politisi baik dari blok eksekutif maupun blok legislatif sama-sama membutuhkan modal yang besar. “Sebagian besar politisi membutuhkan modal besar dalam rekrutmen politik, dan modal besar itu sebagian besar ada di tangan oligarki. Para politisi atau calon politisi membutuhkan bantuan modal dari oligarki sebagai investor,” imbuhnya.
Asyari menuturkan, jauh-jauh hari para investor ini sudah melakukan investasi pada calon eksekutif sebelum seseorang menjadi wali kota, gubernur, presiden, dan sebagainya. “Mereka selalu investasi di situ karena mereka melihat bahwa orang-orang tertentu bisa diproyeksikan akan menjadi pemegang kekuasaan,” bebernya.
Terhadap caleg, tutur Asyari, para oligarki itu memesan pasal-pasal atau undang-undang. Asyari menyebut banyak contohnya, misal UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan yang terbaru RUU Kesehatan, serta undang-undang lainnya yang itu mewakili kepentingan orang-orang yang berduit. “Ada pasal-pasal yang sepertinya sudah jelas sekali mewakili kepentingan para pemodal,” tandasnya.
Dalam pandangan Asyari, investasi dari para oligarki kepada calon politisi ini terjadi baik di tingkat pusat maupun daerah. Para politisi yang membutuhkan investasi jumlahnya juga banyak. Para politisi itu nantinya akan membuat undang-undang.
“Nah, sejak mulai proses investasi itu sebenarnya korupsi sudah dimulai, ketika ada nota kesepahaman kalau anda duduk di sana saya maunya undang-undang seperti ini dan seterusnya. Jadi proses korupsinya sudah ada sejak di situ, ada oligarki, ada politisi, ada korupsi,” tandasnya.
Intinya, kata Asyari, para konglomerat itu memerlukan tangan untuk mewakili kepentingan mereka di DPR. Dan ini sudah dibuktikan di masa lalu semisal kenapa UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan malam-malam tanpa banyak yang menentang.
“Itu baru di eksekutif dan legislatif. Mereka juga berinvestasi pada instansi-instansi yang berperan dalam bisnis mereka. Misalnya kementerian perdagangan, kementerian pertanian, kementerian kelautan dan sebagainya,” imbuhnya.
Hanya saja, lanjut Asyari, karena menunjuk menteri itu menjadi hak prerogatif presiden maka setelah ditunjuk baru investasi. Meski demikian, yang paling banyak menurut Asyari adalah politisi di legislatif. Ia juga menegaskan bahwa korupsi itu bukan hanya soal uang tapi juga penyalahgunaan kekuasaan.
Kesalahan Sistem
Asyari menilai, siklus seperti di atas sudah pada taraf akut karena kesalahan sistem. “Meski demikian andai manusia-manusia yang berada di birokrasi, di eksekutif, di legislatif itu memiliki integritas dan moralitas yang memadai barangkali itu bisa membantu,” ungkapnya.
Tapi yang terjadi sekarang ini, ujarnya, sudahlah sistem tidak bagus dijalankan pula oleh orang yang tidak berpengalaman atau orang yang sengaja tidak mau Indonesia ini baik.
Untuk memutus itu semua, kata Asyari, cara instannya adalah revolusi karena suasana yang ada membuat semua orang frustasi, dongkol, jengkel, marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
“Tapi kalau dimunculkan ide revolusi pasti sudah ditangkap oleh aparat, padahal kalau mau memutus rantai itu ya harus ganti semua,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun