Di Era Jokowi, Pemberantasan Korupsi Alami Titik Nadir

Mediaumat.news – Analis Senior dari Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan sependapat dengan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter yang mengatakan, sejarah akan mencatat bahwa pemberantasan korupsi di era Jokowi hancur (13/9).

“Saya sependapat dengan apa yang disampaikan ICW. Karena jelas faktanya bahwa pemberantasan korupsi mengalami titik nadirnya di bawah pemerintahan Jokowi ini,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Rabu (15/09/2021).

Seirama dengan ICW, Fajar juga mengatakan, memang banyak bukti yang mengarah ke arah kehancuran. Namun, selain pelemahan sistematis terhadap KPK melalui pintu revisi UU KPK dan adanya dewan pengawas, pengalihan status pegawai menjadi ASN menurutnya justru menunjukkan kesan lembaga anti-rasuah tersebut yang semestinya independen menjadi bagian rumpun eksekutif.

Selain itu, ia membenarkan terkait tidak adanya keinginan kuat rezim untuk melakukan pemberantasan korupsi. “Adanya beberapa kasus dugaan pelanggaran etik oleh beberapa komisioner, adanya tes wawasan kebangsaan yang kontroversial itu, menurunnya kasus penanganan korupsi, ringannya vonis bagi para koruptor yang jelas-jelas sudah merugikan kepentingan negara dan rakyat,” bebernya membuktikan.

Sama halnya dengan janji pemerintah yang akan menambah jumlah penyidik dan tidak akan berkompromi dengan koruptor untuk menjaga independensi KPK, justru menurut Fajar, semua itu akhirnya tinggal janji.

Sistemis

Persoalan korupsi saat ini yang sudah dilakukan secara masif di berbagai sektor, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun pelaku bisnis, dinilai Fajar bukan semata kerusakan di rezim, tapi memang sudah sistemis. “Terutama sistem politik, yang justru membuat orang baik bisa menjadi buruk atau jahat. Atau orang jahat bisa menjadi lebih jahat,” tuturnya.

Seperti diketahui, sistem politik saat ini yaitu demokrasi liberal, merupakan sistem politik yang sangat high-cost. Bahkan untuk menjadi penguasa di sistem demokrasi ini dibutuhkan biaya atau anggaran hingga miliaran rupiah.

Karena ongkos politik yang mahal tersebut, maka pada akhirnya membuka jalan bagi para pemodal untuk masuk dalam kontestasi politik. “Masing-masing menanamkan modalnya kepada para calon penguasa, dan tentunya mengharapkan ‘kembalian’ berupa keuntungan lainnya,” tandasnya.

Itulah yang ia sebut sebagai pintu masuknya tindak kejahatan korupsi dengan mencari sumber-sumber yang memungkinkan bisa digunakan membalas budi atas investasi yang dikeluarkan para investor. “Nah, ini saya kira yang akan dicatat oleh rakyat Indonesia sebagai era senjakala pemberantasan korupsi di negeri ini,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: