Mediaumat.id – Desakan sebuah komunitas yang dipimpin Bedjo Untung agar Presiden Jokowi menghapus Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor 25 Tahun 1966 (Salah satu isinya, melarang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya) menurut Aktivis 98 Agung Wisnuwardana terkait dengan pengakuan Jokowi terhadap pelanggaran HAM tahun 1965/1966.
“Ya desakan ini sepertinya terkait juga dengan pengakuan adanya pelanggaran hak asasi manusia terhadap kejadian tahun1965/1966,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Senin (16/1/2023)
Ia khawatir bahwa adanya pengakuan pelanggaran HAM yang terjadi tahun 65/66 itu akan menjadi keran untuk desakan terhadap penghapusan TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966 tentang paham komunisme, marxisme, leninisme. “Walaupun di dalam KUHP ada pelarangan atas tindakan melanggar ideologi negara, tetapi desakan ini mungkin saja akan terjadi kalau legal-formal negeri ini, termasuk presiden berani membuat keputusan misalnya lewat perppu,” ujarnya.
Agung menilai ini yang sangat menghawatirkan. “Menurut saya seharusnya tidak dilakukan karena negeri ini negeri Muslim, sebagian besarnya Islam. Seharusnya lebih berempatilah pada umat Islam,” ungkapnya.
Bahaya Komunis
Agung menyampaikan beberapa poin bahayanya komunis. Pertama, itu terkait dengan kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh komunisme di dunia dan juga di Indonesia. “Kita tahu 1948 komunis melakukan pemberontakan di Madiun. Banyak pesantren yang digrebek oleh mereka. Santri-santrinya dibunuh, terus kemudian kiai-kiai dimasukkan sumur. Itu kejadian yang terjadi pada tahun 1948. Tapi anehnya kan, presiden mengakui pelanggaran HAM tahun 1965/1966 tapi tidak mengucapkan pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1948. Itu kan diskriminatif. Jadi, bahaya yang pertama itu,” tuturnya.
Kedua, itu aqidahnya. “Aqidahnya itu dialektika materialisme yang cenderung tidak mengakui Tuhan dan menganggap bahwa material segala-galanya. Ini kan bermasalah buat Indonesia yang mayoritasnya Muslim,” terangnya.
Ketiga, komunisme itu problem di thariqah perjuangannya (metode perjuangannya) yang class struggle itu. “Perjuangan antarkelas itu kan menimbulkan apa yang pecah belah di tengah-tengah masyarakat. Poin-poin itu saja sudah menunjukkan problem luar biasa dari komunisme dan bahaya dari komunis sendiri,” bebernya.
Agung menilai wajar jika Bedjo Untung menganggap penghapusan TAP MPRS itu penting. “Dia itu kan bagian dari anak turun PKI. Tapi, menurut saya itu sudah tidak pas dipakai itu dijadikan sebagai landasan untuk meminta lagi. Wong pengakuan terhadap pelanggaran HAM 1965/1966 itu saja, menurut saya sudah keterlaluan negeri ini. Tidak menghargai umat Islam, tidak menghargai keberadaan Muslim di negeri ini yang juga mengalami pembantaian oleh PKI tahun 1948. Jadi, apa yang dikatakan Bedjo Untung itu sudah tidak relevan lagi dan menunjukkan dia ingin terus mengangkat keran komunisme di negeri ini.
Bahaya Nyata
Berbeda dengan komunis, menurut Agung, kapitalisme ini bukan lagi bahaya laten, tetapi kapitalisme itu ancaman nyata di depan mata. “Dan itu diberlakukan di negeri ini oleh pengelola negeri atau penguasa negeri ini. Ini sebenarnya sangat berbahaya,” tandasnya.
Ia menyebut, hampir semua kebijakan pembangunan di negeri ini itu tata kelolanya berlandaskan pada ideologi kapitalisme. Pembangunan IKN pakai pendekatan public private partnership itu varian dari tata kelola kapitalisme. Investasi asing yang dibuka besar-besaran untuk hilirisasi sumber daya alam itu kapitalisme. “Sumber daya alam yang melimpah itu cenderung diserahkan konsesinya kepada swasta sehingga swasta itu yang mendapatkan keuntungan besar, oligarki untung rakyat buntung itu menunjukkan kapitalisme,” bebernya.
Agung merasa heran, kenapa kapitalisme tidak dimasukkan sebagai ideologi yang berbahaya buat negeri ini padahal jelas-jelas kapitalisme itu, yang sudah menyengsarakan negeri ini sejak Indonesia merdeka.
“Anda bisa bayangkan berapa tahun sampai sekarang. Soekarno di akhir-akhir masa pemerintahannya enggak sanggup dia untuk mempertahankan nafas sosialisme akhirnya masuk kapitalisme. Kemudian orde Baru sampai ke pembukaan besar-besaran investasi asing juga terasa. Reformasi lebih parah lagi, neoliberal sampai sekarang. Walaupun ada investasi Cina tapi itu kan nuansa atau tata kelola kapitalisme. Itu sangat jelas sekali, ” ujarnya.
Menurutnya, ini sangat aneh karena negeri ini sangat permisif terhadap ideologi kapitalisme dan memberikan kran pada komunisme. “Sudahlah itu semua bertentangan dengan Islam,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it