Mediaumat.news – Dengan uang yang sama, sebenarnya pemerintah bisa mendapatkan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) bukan hanya 51 persen tetapi seluruh saham bahkan sampai leber tiga persen.
“Seharusnya pemerintah dengan merogoh kocek US$3,85 miliar dapat menguasai saham PTFI sebesar kurang lebih 103 persen dan bukannya hanya 51,3 persen!” ujar Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy dalam Islamic Lawyers Forum (ILF) Edisi ke-7: Divestasi Freeport, NKRI Mati Harga! Ahad (27/1/2019) di Jakarta.
Karena nilai harga saham yang diborong pemerintah harganya setara dengan nilai harga saham PT Indocooper Investama yang memiliki 9,36 persen saham yang dijual kembali ke Freeport-McMoRan (FCX) sebesar US$400 juta. Bila US$400 juta senilai 9,36 persen saham, berarti bila US$3,85 miliar senilai 103 persen saham. “Lantas, siapa yang bertanggungjawab terhadap nilai harga saham yang terlampau mahal ini?” tanya Noorsy.
“Bahkan, seharusnya pemerintah memaksa Freepot membayar kerugian akibat kerusakan ekosistem lingkungan sebesar Rp185 triliun, bukan malah membeli sahamnya dengan harga super mahal, USD3,85 miliar,” timpal Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara.
Lebih parahnya lagi, menurut Pengamat Ekonomi Politik Salamudin Daeng, komposisi saham yang dibeli pemerintah itu adalah saham hak partisipasi (PI) Rio Tinto, bukan saham PTFI. Kabarnya, untuk mengkonversi nilai PI Rio Tinto ini PTFI akan melakukan penerbitan saham (right issue). Namun proses dan mekanisme konversi ini belum jelas. Artinya, saham milik pemerintah bisa terdilusi menjadi di bawah 51 persen.
Melanggar Konstitusi
Oleh karena itu, Ahmad Redy, menilai pemerintah banyak salah kaprahnya. “Bukannya menegakkan hukum, pemerintah justru menerbitkan kebijakan dan peraturan hukum yang melanggar konstitusi. Presiden berpotensi melanggar konstitusi dalam proses divestasi Freport ini,” ungkap Pakar Ilmu Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara tersebut.
Senada dengan akademisi tersebut, Sekjen LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan juga melihat ada indikasi pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara. Sehingga ia pun mendorong BPK dan KPK untuk menindaklanjutinya.
Terakhir, Pimpinan Ponpes Daar ats-Tsaqafah Cilendek Bogor KH Umar ash-Shiddiq memaparkan hukum Islam terkait hukum kepemilikan tambang.
“Dalam Islam, tambang dengan jumlah deposit melimpah terkategori kepemilikan umum (milkiyatul ammah), haram bagi individu, swasta, asing maupun aseng, apalagi Amerika yang statusnya negara kafir fi’lan (de facto) memerangi umat Islam, mengelola tambang emas Papua,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo