Demokrasi Masih Bisa Diharap?

Oleh: Agung Wisnuwardana

Proses sublimasi pemikiran terus dilakukan oleh negara AS terhadap masyarakat dunia yang tengah mengalami apatisme terhadap sistem demokrasi. Mereka hanya diberi dua pilihan saja: sistem demokrasi dengan sistem otoritarian. Ketika masyarakat telah phobi terhadap sistem otoritarian, mereka tentu akan memilih sistem demokrasi. Namun, ketika sistem demokrasi yang diterapkan ternyata tidak menyelesaikan persoalan kesejahteraan, mereka kebingungan mencari-cari kambing hitam. Benarkah demokrasi menjamin kesejahteraan rakyat?

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Dalam demokrasi dikenal slogan, “Vox populi vox dei (Suara rakyat adalah suara tuhan).” Karena itulah, inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Artinya, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan dan membuat suatu hukum. Dalam bahasa Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dalam demokrasi kapitalistik, uang menjadi panglima. Para pengusaha/pemilik modal memiliki kepentingan untuk mengamankan bisnisnya. Dalam kondisi demikian, gayung bersambut. Partai dan para caleg akhirnya bekerjasama sekaligus membuat semacam ‘kontrak politik’ yang saling menguntungkan dengan para pengusaha/pemilik modal. Celakanya, sering terjadi, dana dalam jumlah besar itu justru dimiliki oleh pihak asing atau pengusaha lokal yang menjadi komprador asing. Lalu mengucurlah dana dari mereka kepada partai-partai/para caleg yang diperkirakan bakal meraih suara cukup banyak. Akibatnya, keterlibatan asing dalam ‘money politic’ untuk menyokong partai atau para caleg tertentu sering terjadi, tentu tidak secara terbuka dan terang-terangan. Kenyataan ini—meski sulit dibuktikan—sering terjadi setiap menjelang Pemilu dan sudah banyak diungkap oleh sejumlah kalangan.

Dalam suasana kekecewaan sebagian elemen masyarakat, muncul pertanyaan jika demokrasi tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, bagaimana dengan negara-negara maju yang telah menerapkan sistem demokrasi? Apakah mereka berhasil menjadikan masyarakatnya makmur karena menerapkan sistem demokrasi atau ada faktor lainnya?

Faktanya, beberapa negara mengandalkan kemajuannya itu dari ekploitasi atas negara lain, baik dari sisi sumberdaya alam, finansial, SDM maupun tempat pembuangan limbah. Contoh yang unik adalah negeri Swiss yang terkenal dengan coklatnya, padahal di Swiss tidak ada pohon coklat! Sebagian besar energi yang menjalankan roda industri di Eropa, Amerika Serikat, atau Jepang didatangkan dari Timur Tengah. Demikian juga bahan tambang, kayu, sebagian besar produk pertanian, bahkan pasir! Singapura mengeruk pasir dari Riau untuk reklamasi pantainya. Konon, jumlah pasir yang telah dikeruk itu cukup untuk menambal seluruh pantai utara pulau Jawa selebar 60 meter.

Sebagian besar produk industri dengan merek negara maju sejatinya dibuat di negara berkembang. Produk itu dibuat dengan tenaga murah, kemudian dijual dengan harga berlipat-lipat, karena menyandang merek negara maju. Sejatinya teknologi yang dipakai relatif mudah ditiru, namun teknologi itu diproteksi dengan hak paten sehingga hanya orang yang diberi izin penemunya yang boleh menirunya. Walhasil, cashflow yang ada akan selalu positif di pihak negara maju sehingga mereka bisa mendapatkan barang dan jasa yang lebih banyak daripada negara berkembang mendapatkannya dari negara maju.

Kekuatan finansial juga merupakan salah satu kunci kemampuan negara-negara sekular untuk memantapkan kemakmuran negerinya. Tawaran pinjaman ke negara-negara berkembang sejatinya adalah alat untuk memutar uang bagi mereka. Pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia 2,437 miliar dolar AS. Itu hanya utang pemerintah. Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar. Pada akhir tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Swasta baru mulai mengutang pada tahun 1981. Pada tahun 1998 jumlah utang swasta sudah mencapai 83,557 miliar dolar. Menjelang akhir tahun 2008 sudah mencapai US$ 2.335,8 miliar dengan tingkat bunga sekitar 5%, jumlah riba bunganya saja yang harus kita bayarkan berkisar 116,7 miliar dolar (asumsi 1$=Rp 12.000, riba bunga setara dengan Rp 1400 triliun). Seandainya kita mengasumsikan tiap hari seorang penduduk Indonesia untuk makan tiap hari mengeluarkan biaya Rp 15 ribu rupiah sekali makan dan 3 kali makan dalam sehari (Rp. 45,000), maka untuk bunganya saja dari utang kita dalam setahun sangat mencukupi untuk makan penduduk Indonesia sebanyak 71, juta jiwa selama setahun.

Ketika dihadapkan pada skop global ini, tampak bahwa negara-negara maju itu hanya peduli jika itu berkaitan dengan kepentingannya. Sebuah reportase dari Children-Right Watch (Komisi Pengawasan Hak Anak-anak), misalnya, melaporkan bahwa di Mexico dan Columbia, puluhan anak-anak diculik setiap harinya untuk diambil organ tubuhnya. Organ tubuh itu seperti lever, mata, bahkan jantung, diambil untuk memenuhi kebutuhan transplantasi organ bagi anak-anak di Amerika Serikat.

Kesimpulannya, demokrasi yang tampak berhasil di negara maju, sejatinya menyimpan bom waktu (problem sosial, dll) yang akan meledak pada masa depan di negeri mereka sendiri. Pasalnya, mereka tampak makmur bukan karena menerapkan sistem demokrasi, namun porsi besar faktor penunjang kemakmuran mereka adalah karena neo-imperialisme atas negara lainnya. Saat ini pun dampak negatifnya sudah dirasakan di negara-negara berkembang.[]

Share artikel ini: