Sekian belas tahun lampau, seorang sahabat lama, yang kebetulan menjadi salah seorang menteri, uring-uringan.
Pasal? Ia disuruh balik kantor dalam perjalanan menuju DPR untuk rapat konsultasi dengan komisi di DPR. Percuma, katanya. Datang atau tidak, keputusan sudah dibuat oleh komisi itu secara subyektif. Lho?
Menurut staf ahli sang menteri, tiap rekening anggota komisi menggemuk bersamaan karena ada transfer ”sulap” dengan angka nol melebihi seluruh jari tangan, dari korporasi yang punya kepentingan dengan subyek yang dikonsultasikan pagi itu. ”Demokrasi macam apa ini?” teriak sahabat itu, membanting bundelan map di meja. ”Demokrasi dusta,” ketus saya seenaknya.
Akan tetapi saat ini, saya tidak lagi menjawab seenaknya. Saya serius hingga ke kedalaman batin saya. Di kedalaman itu, saya bicara pada diri sendiri. ”Sungguh sulit hati menerima kenyataan, ketika rakyat di negeri ini menyetujui sistem bernegara yang sejak awal tidak henti mendustai konstituennya: demokrasi.”
Rakyat menerima? Sesungguhnya tidak juga sepenuhnya. Bukan rakyat yang memutuskan. Tetapi para elite politik, terutama di parlemen dan majelis rendah yang konspiratif, karena ternyata sistem itu mudah didustai, lebih mudah lagi dipakai untuk mendustai (rakyat) demi kepentingan subyektif elite itu sendiri. Rakyat cuma di-fait accompli. Lagi pula kapan rakyat pernah andil dalam pengambilan keputusan?
Dusta kian nyata
Kini dusta ini kian berat, dalam, dan nyata. Demokrasi dusta di republik ini mencolok dalam tiga manifestasi praksis.
Pertama adalah ”dusta elektoral”, di mana demokrasi mendustai kita, rakyat yang konon menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, dalam soal pemilihan pemimpin politik (pusat ataupun daerah). Kemunculan pemimpin, bahkan sejak masa kandidat sudah merupakan hasil transaksi politik, termasuk barter jatah kekuasaan dari elite pemegang kekuasaan sebelumnya (status quo). Baik pemimpin hasil pemilihan langsung maupun hasil aklamasi pendapat (voting).
Di dimensi demokratis ini, terjadi calon tunggal dalam sebuah pemilihan. Dia hanya melawan kotak kosong yang seharusnya menjadi skandal. Pemilihan harus terjadi, sebagai rukun wajib demokrasi, walau dengan panggung yang merusak akal sehat. Atau kandidat yang didukung hampir seluruh parpol, hanya karena sudah disepakatinya arisan kekuasaan. Kejernihan akal sehat publik terkelabui, kehidupan politik, ekonomi, dan seterusnya dengan mudah di-fait accompli.
Kedua adalah ”dusta regulasional”, yang terjadi saat para pemimpin politik, di semua lembaga pemerintahan (yang terbagi tiga itu) ataupun lembaga-lembaga politik lainnya, membuat regulasi, menyusun kebijakan atau program pembangunan yang ternyata dipenuhi pengingkaran janji-janji pada masa elektoralnya. Alih-alih menciptakan kebijakan yang mengedepankan kepentingan rakyat jelata, mereka malah mengakomodasi kepentingan pengusaha, elite, termasuk mereka sendiri.
Dana yang dikumpulkan rakyat dengan darah, keringat, dan air mata—yang kemudian kita sebut dana APBN—ternyata hanya berputar dan terbagi di kalangan mereka. Antara lain sebagai hasil transaksi atau kongkalikong di masa pra-elektoral. Praktik dusta demokrasi ini menciptakan kejelataan yang kian parah. Lembaga Otda yang konon demokratis itu ternyata manjur mempermiskin rakyatnya.
Hal ketiga adalah ”dusta implementasional”, dusta yang sangat berat dan paling kasatmata, karena hampir setiap hari publik menyaksikannya di pelbagai media. Dusta ini terjadi ketika para pemimpin, termasuk para pemuncaknya, menggunakan kuasa, amanah, serta fasilitas yang didapatkan karena demokrasi, hanya untuk mengeruk keuntungan pribadi dari dana rakyat. Kasus-kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang menyeret ratusan pemimpin (daerah dan pusat) hingga kasus-kasus para pemimpin yang tergolong RI bernomor kecil adalah contoh nyata dusta ketiga ini.
Hampir tidak dapat dibayangkan, bila seorang pemimpin yang disucikan oleh amanah dan fasilitas mewah begitu telengasnya mencuri uang rakyat hingga 0,5 triliun! Duit yang jumlahnya bahkan melebihi anggaran sebuah badan atau kementerian negara, melebihi gaji setahun dari semua pekerja/karyawan yang dengan penghasilan UMR per bulan.
Negeri ajaib
Negeri apa ini? Inikah negeri yang dikatakan seorang pelancong atau sejarawan awal Islam abad ke-9 dari Persia, Buzurg bin Syahriar, Ajaib al-Hind, negeri ”Hindia yang Ajaib”?
Keajaiban alamnya permai, keajaiban suku-suku bangsanya yang damai, keajaiban rakyatnya yang bahagia-damai, keajaiban budaya yang subur-tersemai? Bukan. Duh… ternyata bukan.
Inilah negeri ajaib karena rakyat sebegitu banyak dan hebatnya telah didustai sekian lama; lembaga-lembaga yang mengatur hidup mereka digunakan untuk membela kaum kaya, memperdaya yang jelata.
Tidak bisa dinafikan, masih ada sebagian pemimpin yang tidak termasuk dalam kaum dajjalian itu. Walau mungkin banyak kalangan ragu, sebersih apa para pemimpin ”innocent” itu tidak terlibat atau tersentuh kaum dajjal di atas.
Apa pun, saya kira masih ada, mungkin cukup banyak, aparatus ataupun pemimpin di negeri ini yang batin atau hati terdalamnya ”mengutuk” dan (berusaha) menolak terlibat praktik-praktik sampah zaman itu.
Namun, pertanyaan terpenting yang harus kita ajukan (termasuk pada diri sendiri), apa kemudian yang (semestinya) kalangan ”innocent” ini lakukan menghadapi realitas busuk yang jadi bom waktu bagi bangsanya sendiri?
Tidak adakah aparatus atau pejabat publik yang tergerak, secara personal atau komunal, bertindak melawan situasi jahanam itu? Karena siapa pun yang diam, se-innocent¬ apa pun dia, akan menjadi bagian dari kesalahan peradaban, dan tentu saja turut bertanggung jawab.
Bisa saja berkelit, ”itu bukan urusan saya”, ”saya sudah kesulitan dengan hidup saya sendiri”, ”ada pihak yang lebih bertanggung jawab untuk itu”, dan sebagainya. Dalam dunia yang konon diberi nyawa oleh kebebasan individual atau hak asasi manusia, pernyataan-pernyataan personal di atas adalah juga hak, valid secara normatif-yuridis.
Namun, pernyataan-pernyataan di atas adalah ungkapan yang sangat tidak bertanggung jawab. Itu adalah ekspresi individualistik, selfish, dan egois yang secara licik tidak mengakui kenyataan komunitas di mana ia hidup, sebuah bangsa yang ia akui.
Ini tentu saja berlaku bagi siapa pun warga negeri ini, dari pengemis hingga pemimpin utama. Maka, menjadi norma yang imperatif bagi para pemimpin yang menggolongkan dirinya pada kaum ”innocent” untuk bertindak selayaknya menjaga kepentingan, marwah, juga masa depan rakyat yang menjadi korban dusta-dusta demokrasi di atas. Setidaknya mereka harus berpikir, mana yang lebih penting sistem atau rakyat yang menjadi obyek sistem itu? Nasib lembaga dan para pemimpinnya yang berkuasa, atau justru rakyat sebagai pemilik kuasa sebenarnya?
Maka, bila kita sekarang menjadi saksi dari bisu dan pasifnya pemimpin serta pihak-pihak yang selumrahnya membela nasib publik, kita berhak menulis sejarah kita sendiri, sebagaimana kita berhak menentukan masa depan kita sendiri. Tidak peduli apa yang dikatakan dan diperbuat para pemimpin, apa yang diproduksi lembaga-lembaganya, apa yang diobral oleh sistem penuh dusta itu: demokrasi.
Radhar Panca Dahana
Budayawan
Sumber: Kompas (1 Agustus 2017)