Demo Tolak Kenaikan Pajak Tewaskan 30 Orang, Bisa Terjadi di RI

Mediaumat.info – Direktur Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan, aksi demo masyarakat Kenya hingga menewaskan 30 orang karena memprotes kebijakan pemerintahnya yang menaikkan pajak secara signifikan tersebut bisa terjadi di Indonesia.

“Kejadian yang terjadi di Kenya tak menutup kemungkinan terjadi di Indonesia,” ujarnya kepada media-umat.info, Kamis (4/7/2024).

Menurut Ishak, hal itu bisa terjadi jika pemerintah terus membebani rakyat dengan berbagai kebijakan yang meningkatkan pengeluaran mereka, seperti peningkatan pajak, pembatasan subsidi BBM dan elpiji, dan pengenaan tarif BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan yang memberatkan pekerja, termasuk rencana pengenaan iuran Tapera.

Di sisi lain, kata Ishak, pendapatan negara yang berasal dari pajak tersebut justru dikorupsi oleh para pejabat publik. Pengelolaan harta milik negara dan milik publik seperti BUMN justru diserahkan kepada kalangan kroni-kroni penguasa.

Ishak membeberkan, yang terjadi di Kenya sebagian besar disebabkan oleh ketidaksetujuan luas terhadap undang-undang keuangan (Financial Bill 2024) yang dibahas di parlemen untuk meningkatkan pajak guna mengatasi defisit anggaran dan utang negara.

Menurutnya, rekomendasi tersebut disebut berasal dari IMF. Sebagai konsekuensi dari pinjaman Kenya terhadap IMF, lembaga itu meminta agar Kenya memenuhi target defisit fiskal sebesar 4,7% pada tahun ini dan 3,5% pada tahun depan. Kenya menyetujui pinjaman empat tahun dengan IMF pada tahun 2021 dan menandatangani pinjaman tambahan untuk mendukung langkah-langkah perubahan iklim pada bulan Mei 2023, sehingga total akses pinjaman IMF menjadi $3,6 miliar.

Dalam UU keuangan tersebut mencakup berbagai reformasi pajak dan kenaikan pajak, termasuk pungutan baru pada pembuatan konten digital yang dimonetisasi dan kenaikan pajak sebesar 5 persen pada pembayaran digital seperti transfer bank serta pembayaran uang digital. Hal ini sangat berdampak di negara yang mengandalkan uang digital.

Namun Ishak melihat, beberapa rencana yang paling membuat marah warga Kenya adalah proposal untuk memperkenalkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 16 persen pada roti serta cukai sebesar 25 persen pada minyak goreng nabati mentah dan olahan yang diproduksi di dalam negeri.

Selain itu, ada tambahan biaya pendapatan sebesar 2,75 persen juga dikenakan bagi pegawai yang terdaftar dalam rencana asuransi kesehatan nasional negara tersebut. Pajak tahunan sebesar 2,5 persen pada kendaraan bermotor juga dimasukkan.

Ishak mengatakan, para pengunjuk rasa Kenya menganggap semua pajak tersebut, terutama pada roti dan minyak goreng, pada akhirnya akan meningkatkan biaya keseluruhan. Mereka juga marah karena undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada otoritas pendapatan Kenya untuk menegakkan pemungutan pajak dengan mengakses rekening bank dan uang digital.

Selain itu, jelas Ishak, para pemrotes juga menyoroti masalah korupsi dan isu-isu pemerintahan yang dalam, yang banyak orang Kenya rasakan sebagai memperburuk masalah ekonomi dan membuat hidup sulit bagi warga biasa.

Pemerintahan Presiden William Ruto dihadapkan dengan kritik karena tidak menangani isu-isu tersebut dengan efektif, sehingga, jelas Ishak, memicu kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat dan memperburuk pemberontakan.

Terakhir Ishak mengingatkan, kejadian di Kenya menjadi pelajaran penting bagi negara-negara di dunia termasuk di negara-negara Muslim, bahwa ketergantungan pada utang khususnya pada negara dan lembaga donor seperti IMF akan mengakibatkan mudarat bagi pemerintah dan rakyat negara pengutang, melalui berbagai syarat-syarat yang mengikat disamping bunga kredit yang membebani APBN.

“Karena itu, di dalam Islam, bentuk utang seperti ini diharamkan,” pungkas Ishak. [] Agung Sumartono

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: