Demo di AS Meluas, Mahasiswa Harusnya Memang Terusik Penderitaan Palestina

Mediaumat.info – Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana mengatakan kaum intelektual terutama para mahasiswa harusnya memang menjadi kalangan terdepan yang terusik terhadap penderitaan rakyat di Palestina.

“Di kalangan akademisi, khususnya mahasiswa yang katanya merupakan kalangan intelektual, mestinya menjadi kalangan terdepan yang terusik terhadap apa yang terjadi di bumi Palestina,” ujarnya kepada media-umat.info, Sabtu (4/5/2024).

Hal itu ia ungkapkan untuk merespons pemberitaan tentang aksi demonstrasi para mahasiswa pro-Palestina di Amerika Serikat (AS) yang bermula di Universitas Columbia, New York, kini meluas hingga negara-negara maju seperti Australia, Eropa, dan Asia.

Seperti diberitakan sebelumnya, alih-alih mengapresiasi gerakan menyampaikan aspirasi, pada tanggal 30 April kemarin, Universitas Columbia, New York, mengancam akan mengeluarkan mahasiswa yang menduduki gedung administrasi Hamilton Hall. Ancaman ini dikeluarkan karena para demonstran dianggap anti perang dan ‘telah memilih untuk melakukan eskalasi ke situasi yang tidak dapat dipertahankan’.

Alasan Utama

Namun demikian, kata Budi lebih lanjut, secara administratif alasan utamanya selain dianggap mengganggu ketertiban kampus, tuntutan dari mahasiswa dianggap mengada-ada dan tidak sejalan dengan visi sekularisme-Zionis kampus.

“Ini yang sepertinya menjadi alasan utama dari kampus sehingga melakukan ancaman-ancaman semacam itu,” paparnya.

Dilansir kompas.com (3/5), aksi meluas hingga lusinan kampus di AS diduduki para mahasiswa yang memprotes perang di Gaza. Sejauh ini lebih dari 2.000 pengunjuk rasa telah ditangkap, saat universitas-universitas itu berupaya menyingkirkan tenda-tenda perkemahan para demontran.

Sejak Oktober 2023, para mahasiswa telah melancarkan aksi unjuk rasa, aksi duduk, puasa, dan yang terbaru, mendirikan tenda-tenda perkemahan di area kampus untuk menentang perang tersebut. Para mahasiswa menuntut agar kampus-kampus mereka, yang sebagian besar memiliki dana abadi (endowment fund) dalam jumlah besar, melakukan divestasi finansial dari entitas Zionis Yahudi.

Divestasi berarti menjual saham perusahaan-perusahaan Zionis yang dimiliki kampus-kampus itu dalam portofolio pengelolaan dana abadi mereka, atau memutus hubungan keuangan dengan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga Zionis Yahudi.

Bahkan, seperti diungkap sebelumnya, gelombang unjuk rasa di kalangan akademisi pun tersebar hingga negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Australia, Eropa, hingga Asia. Mereka memenuhi jalan dan kampus-kampus dunia.

Karenanya, kembali Budi menekankan, sikap pemerintah AS dan negara sekutu yang mendukung institusi Yahudi tanpa syarat harusnya cukup mengusik rasionalitas siapa pun yang mengaku sebagai intelektual yakni manusia yang berpikir kreatif, imajinatif dan lebih memperhatikan kehidupan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya.

Namun, dikarenakan pondasi kampus adalah sekularisme maka ia pun tak heran ketika sikap pro terhadap Palestina datang dari kampus, justru mendatangkan sikap diskriminatif dan tak demokratis dari institusi kampus itu sendiri.

“Kampus di negeri Barat adalah kampus yang berdiri di atas pondasi sekularisme, dan terlebih bila kampus itu adalah kampus yang juga mendukung zionisme internasional dan support terhadap institusi Yahudi dengan berbagai jenis bantuannya,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: