Mediaumat.id – Pengamat Politik Ekonomi Salamuddin Daeng menyatakan menaikkan tarif listrik sebagai solusi dari defisitnya Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang diperkirakan akan mencapai Rp71,1 triliun malah akan menjadi bumerang. “Menaikkan tarif listrik malah akan menjadi bumerang bagi PLN sendiri,” lugasnya kepada Mediaumat.id, Rabu (1/6/2022).
Ia pun menjelaskan alasannya sehingga dikatakan menjadi bumerang. “Selama ini tidak banyak publik yang tau bahwa listrik yang dihasilkan PLN sudah over supply atau kelebihan kapasitas. Pihak PLN sendiri pernah mengatakan bahwa listrik yang mereka hasilkan hanya terjual 50 persen saja. Bahkan, ada kabar yang lain mengatakan bahwa di masa Covid–19, listrik yang dihasilkan PLN hanya terjual 30 persen. Selebihnya terbuang percuma,” ungkapnya.
Padahal, PLN harus membeli seluruh listrik yang dihasilkan oleh perusahaan swasta produsen listrik (power purchase agreement/IPP) dengan sistem pembelian take or pay (ToP). Dengan sistem itu, maka berapa pun listrik yang dihasilkan swasta wajib dibeli oleh PLN.
“Jadi swasta setiap detik menerima uang dari PLN, sementara PLN setiap detik mengeluarkan uang untuk membeli listrik swasta. Karena PLN over supply, maka listrik yang dibeli PLN tersebut dibuang percuma. Sampai sekarang belum ada teknologi penyimpanan listrik. Jadi, PLN beli listrik untuk dibuang,” ujarnya.
Daeng, begitu sapaan akrabnya, memprediksi, jika kelebihan produksi listrik PLN yang tidak terjual dinaikkan tarifnya, maka besar kemungkinan jumlah listrik yang terjual akan semakin menurun. “Jika itu terjadi, maka kerugian yang diderita akibat over supply tadi makin jauh dari jalan keluar atau akan menambah masalah baru bagi PLN,” tandasnya.
Pengorbanan PLN
Sekarang masalahnya, lanjut Daeng, makin lama kantong PLN makin kering kerontang. Habis uang buat tiga hal. Pertama, membeli listrik swasta. Kedua, membeli energi primer gas, batu bara, dan solar. Ketiga, biaya pemeliharaan infrastruktur yang mahal. Jika terus menumpuk utang, maka akan membahayakan masa depan perusahaan di masa mendatang.
Daeng mengungkapkan, supaya tidak banyak membuang bahan bakar primer di PLN sendiri, maka sering kali pembangkit milik PLN sendiri dimatikan agar tetap menyerap listrik swasta tersebut.
“Sebab walaupun tidak diserap, listrik swasta tersebut harus tetap dibayar oleh PLN. Jadi pembangkit listrik milik PLN sendiri yang dimatikan. Ini luar biasa pengorbanan PLN kepada para pebisnis listrik. PLN rela membuang sumber daya dari pembangkit sendiri yang telah memakan uang investasi yang sangat besar sekali,” uangkapnya.
Renegosiasi
“Di masa pemulihan ekonomi pasca-covid-19 ini, seharusnya PLN dengan didukung oleh pemerintah melakukan renegosiasi dengan IPP, terutama pembangkit listrik fosil, untuk memberikan diskon harga penjualan listrik ke PLN,” saran Daeng.
Saran tersebut, menurut Daeng sebenarnya sebagai langkah untuk menanggung bersama kelebihan kapasitas listrik nasional.
Selain itu, Daeng menyebutkan, kebijakan diskon harga oleh IPP mutlak diperlukan oleh PLN untuk menyelamatkan keuangan PLN sendiri yang sedang memburuk. “Karena, jika PLN benar-benar bangkrut, maka IPP pun akan ikut bangkrut, karena PLN tidak lagi sanggup membeli listrik IPP,” sebutnya.
Solusi yang disarankannya, ungkap Daeng, merupakan langkah untuk recover together agar semua selamat menyongsong era jatuh tempo utang yang akan menjadi masalah terbesar PLN di tahun-tahun mendatang.
Apalagi, tegas Daeng, selama ini IPP tidak ikut menanggung kerugian. Listrik dari IPP selalu dibeli PLN sesuai dengan harga pasar atau harga keekonomian. Pembangkit listrik IPP selalu untung, apa pun situasinya, baik di masa covid-19 maupun sebelumnya. “Sistem pengelolaan ketenagalistrikan memastikan pembangkit listrik swasta untung besar dari bisnis listrik,” bebernya.
Padahal, terangnya, pada masa pandemi berlangsung banyak sekali kebijakan diskon tarif listrik yang diberikan PLN kepada konsumen listrik. Kebijakan ini tentu saja diambil atas dasar persetujuan dari pemerintah. Lagi-lagi gantinya adalah dana kompensasi yang belum pasti kapan akan dibayar oleh Menteri Keuangan. “Biasanya dalam tradisi selalu terlambat 3 tahunan,” sebut Daeng.
Hingga kini, Daeng menyebut, PLN belum melakukan penyesuaian tarif dengan alasan untuk mendukung ekonomi, stabilitas harga energi, dan daya beli masyarakat. “Bahkan, tarif golongan atas pun tidak dilakukan penyesuaian dalam beberapa tahun terakhir. Semua itu menjadi kerugian yang harus ditanggung oleh PLN,” lugasnya.
Ia berharap, Menteri BUMN Erick Thohir bisa membantu PLN melakukan negosiasi dengan IPP ini. “Sehingga PLN tidak menderita rugi besar sebagaimana yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani,” tandasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati