Mediaumat.news – Terkait pendataan dan sinkronisasi data penerima bantuan sosial (bansos) yang selalu bermasalah sehingga banyak keluarga yang jatah bansosnya terhenti padahal masih layak menerima bansos, Profesor Riset dan Intelektual Muslim Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar menyatakan masalah ini sudah berlarut-larut.
“Masalah ini sudah berlarut-larut sebab ketidaktahuan teknis, kemalasan terkait pemutakhiran data dan budaya korup. Publik pun suuzan karena penyaluran bansos sering mendekati pemilu atau pilkada,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Kamis (12/8/2021).
Selain masalah banyak keluarga yang jatah bansosnya terhenti, Prof. Fahmi juga mengutip berita dari media Kompas tanggal 3 Juni 2021 yang mengungkap ada 21 juta data ganda penerima bansos.
“Dan ini bukan hoaks, karena Menteri Sosial Tri Rismaharini mengungkapkan, setelah berita ini tersebar dirinya menerima tekanan,” beber Prof. Fahmi.
Ia menilai, bermasalahnya data bansos tersebut ada banyak kemungkinan. Pertama, masalah teknis database. Banyak orang yang hanya didata dengan nama saja sehingga tidak akurat.
Menurut Prof. Fahmi, pendataan itu harusnya dengan nomor induk kependudukan (NIK), tapi karena banyak orang tidak hafal NIK-nya, sedangkan cara menulis nama bervariasi. Misalnya, orang dengan nama Muhammad tetapi ditulis “Mohammad”, atau “Muhamad”, atau bahkan disingkat, “Muh”.
Kedua, masalah pemutakhiran data. Ada orang datanya ada, tetapi orangnya sudah tidak ada, atau meninggal, atau pindah namun tidak lapor, atau lapor namun datanya tidak terintegrasi.
Ketiga, masalah moral dan penegakan hukum. Tidak memungkiri kemungkinan ada kesengajaan dari oknum aparat agar dapat dana bansos lebih banyak, apalagi jika pertanggungjawabannya mudah.
Selain Bansos
Prof. Fahmi menilai, persoalan basis data ini juga melanda pada data Covid-19. Akibatnya, sebagian negara kurang percaya manajemen covid-19 di Indonesia. Salah satunya Arab Saudi termasuk yang kurang percaya, dan akhirnya memutuskan tidak memberi Indonesia kuota haji.
“Data memang seperti pisau. Dia bisa dipakai membantu melakukan kebaikan, bisa pula keburukan,” ucapnya.
Selain itu, Prof. Fahmi melihat, ada juga data panen yang beragam tergantung konteksnya. Data tersebut dijadikan alasan Kementerian Perdagangan untuk mengizinkan impor beras pada saat panen raya. Akibatnya harga di tingkat petani tertekan sehingga yang untung besar para importir.
Kemudian ada data kondisi BUMN yang dipoles kinclong menjelang pelepasan saham pertama (IPO) tutur Prof. Fahmi. Akan tetapi tak lama kemudian menjadi merah, dan memiliki utang triliunan agar dapat bantuan dari negara.
“Tak heran, banyak orang tak berpengalaman berani didudukkan menjadi komisaris BUMN, tanpa rasa khawatir, karena meski rugi dan utang membesar, toh gajinya tetap fantastis,” sesalnya.
Terakhir ia menyebut, data sumber daya alam (SDA) Indonesia dan ketersediaannya di masa depan yang masih tanda tanya. Angka pertumbuhan pun gelap. Namun ada orang yang tetap optimis tentang rasio utang dengan produk domestik bruto (PDB) atau SDA bahkan mengundang investor.
“Apakah kita sengaja akan mengecoh investor untuk bakar uang?” pungkasnya.[] Agung Sumartono