Oleh: Zulhaidir, SH.
KRI dari Komando Armada RI Kawasan Barat TNI Angkatan Laut, KRI Sigurot-864 menggagalkan penyelundupan narkotika. Tim gabungan yang terdiri atas Badan Narkotika Nasional (BNN), TNI AL, dan Bea Cukai menangkap empat anak buah kapal warga negara Taiwan yang membawa 1,1 ton narkoba jenis sabu-sabu yang dibawa oleh Kapal MV Sunrise Glory dimana disamarkan diantara tumpukan karung beras.
Patut kita apresiasi kinerja Tim gabungan dalam menggagalkan aksi kriminal luar biasa ini. Ya, kejahatan narkotika merupakan extraordinary crime yang kerap dijadikan alat perang tanpa bentuk atau Proxy War. Jika diperhatikan, makin akutnya kejahatan narkoba, disebabkan penanganan yang salah dan penegakan hukum yang lemah serta hukuman yang tidak memberikan efek jera. Di satu sisi penyalahgunaan narkoba dipandang sebagai kriminalitas, tapi di sisi lain seorang pengguna – yang jelas-jelas menyalahgunakan narkoba – justru dianggap bukan pelaku kriminal. Hanya produsen dan pengedar yang dikriminalkan.
Padahal, bukankah tidak akan ada penawaran jika tidak ada permintaan? Bukankah pengguna narkoba mengkonsumsinya atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan? Lalu di sisi mana mereka bisa dianggap sebagai korban? Sementara peraturan tentang rehabilitasi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika tumpang tindih. Pasal 54 menyatakan, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sementara Pasal 127 memerintahkan, setiap penyalahguna narkotik golongan I hingga III dipidana penjara.
Survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) mengungkapkan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam penanggulangan narkotik. Hasil survei menyebut, sekitar 48 responden menilai penggunaan narkotik sekarang semakin banyak. “Sekitar 48 persen warga menilai bahwa penggunaan narkotik sekarang semakin banyak. Yang menilai semakin sedikit 22 persen, dan yang menilai sama saja 16 persen,” dikutip dari situs https://www.saifulmujani.com.
Hukuman yang dijatuhkan dalam kasus narkoba yang tidak memberikan efek jera makin memperparah masalah. Sejumlah terpidana narkoba justru menikmati perlakukan istimewa di dalam rutan. Sebagian lagi mendapatkan keringanan hukuman. Dari 57 terpidana mati kasus narkoba, Mabes Polri malah mendapati 7 terpidana mati kasus narkoba mendapatkan keringanan hukuman. Jangankan membuat jera orang lain, orang yang sudah dihukum pun tidak jera. Maka, keinginan menjadikan Indonesia bebas narkoba, adalah bak jauh panggang dari api. Karena apa yang dilakukan seperti menegakkan benang basah.
Pesatnya kejahatan narkoba sebenarnya buah dari sistem sekulerisme-kapitalisme yang dengan standar manfaatnya melahirkan gaya hidup hedonisme, gaya hidup yang memuja kenikmatan jasmani. Doktrin liberalismenya mengajarkan, setiap orang harus diberi kebebasan mendapatkan kenikmatan setinggi-tingginya. Maka contoh akibatnya, tempat-tempat hiburan malam yang sering erat dengan peredaran narkoba makin marak dan tidak bisa dilarang. Dan dengan dibingkai oleh akidah sekulerisme yang meminggirkan agama, maka sempurnalah kerusakan itu. Tatanan kemuliaan hidup masyarakat pun makin terancam. Maka jelaslah bahwa akar masalah narkoba itu adalah pandangan hidup sekulerisme kapitalisme.[]