Dari Madura Melawan Kezaliman Menegakkan Syariah Islam dan Khilafah untuk Indonesia dan Dunia yang Lebih Baik
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum KPAU
Alhamdulillah, bahagia sekali rasanya berkunjung, bertemu dan berjuang bersama-sama para pejuang Islam yang pemberani dan tangguh. Pejuang yang hanya ikhlas mencari ridho Allah SWT, tak peduli dengan celaan orang yang suka mencela, tak takut dengan kezaliman penguasa. Di Tanah Madura, Di Bumi Penghulunya para Kiyai, Tanahnya para Jawara, suasana itu penulis dapatkan.
Tanah Madura, adalah tanah dimana Syaikhona Kholili mendidik para santri dan menjadi kiyai handal. Banyak ulama yang nasab ilmunya bersambung pada beliau.
Bumi Madura, adalah buminya para Jawara Sakera. Yang siap terdepan membela dan melindungi para ulama, berjuang bersama-sama menegakkan agama Allah SWT.
Pada Sabtu, 19 Februari 2022, pukul 20.00 penulis bersama sejumlah ulama dan tokoh, yaitu : K.H. Thoha Yusuf Zakariya L.c., Kyai Azizi Fathoni, Prof. Suteki dan Fajar Kurniawan, mengadakan kegiatan MUDZAKARAH TOKOH DAN ULAMA MADURA dalam tajuk “101 TAHUN TANPA KHILAFAH” yang mengambil tema : “RUNTUHNYA PERADABAN BARAT DAN BANGKITNYA PERADABAN ISLAM”.
Acara tersebut diadakan oleh FORKISMA dan PKAD, dipandu oleh Host Legendaris Madura, Ustadz Asmawi al Maduri. Ini adalah kunjungan penulis ke Madura untuk sekira yang ke tujuh kali.
Acara yang diadakan di kediaman KH Azis Syahid (Ra Azis) sangat membuat penulis berkesan. Selain sejumlah seruan takbir bergema di sepanjang acara, juga aura semangat terpancar menyala dalam setiap pandangan wajah audiens.
Bahkan, saat penulis menyeru : Khilafah, Khilafah, Khilafah, segenap jamaah antusias mengikutinya. MasyaAllah.
Di Seberang Pondok Pesantren, berdiri kokoh baliho bergambar 6 laskar FPI dan Foto Habibana Muhammad Rizieq Shihab. Seruan jelas : usut tuntas peristiwa KM 50. Sebelum mulai acara, penulis sempatkan berfoto dengan latar baliho tersebut.
Ada sejumlah kisah heroik dibalik berdiri kokohnya baliho ini. Konon, antek para penzalim kepanasan dengan berdirinya baliho. Mereka, begitu ketakutan dengan baliho, dan berusaha menurunkannya. Walaupun gagal.
Dalam acara tersebut, sebagai pembicara kedua, penulis diminta menyampaikan kebobrokan hukum di negeri ini. Dalam kesempatan yang baik tersebut, penulis sampaikan kebobrokan hukum dalam tiga aspek :
Pertama, dalam aspek legislasi atau pembentukan peraturan perundang-undangan. Sistem sekuler, telah menjauhkan agama dari kehidupan, telah meminggirkan peran agama.
Dalam proses legislasi, produk hukum yang dibuat tidak didasarkan pada Wahyu (syariat), tidak untuk kemaslahatan rakyat, melainkan desain pembentukan hukum menginduk pada kepentingan oligarki.
Para legislator tidak pernah merujuk al Qur’an dan Sunnah, juga apa yang ditunjuk oleh keduanya berupa Ijma’ Sahabat dan Qiyas dalam membuat hukum dan perundangan. Legislator juga tidak merujuk pada asas kepentingan rakyat, rakyat hanya didengar saat kampanye pemilu saja.
Setelah menjadi legislator, mereka adalah perwakilan partai bukan lagi wakil rakyat. Sementara partai, dikendalikan oleh oligarki. Praktis, legislator menjadi hamba oligarki dan membentuk hukum dan perundangan berdasarkan kepentingan oligarki.
Terbitnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU KPK, UU Minerba, sangat pro oligarki. Termasuk yang terbaru, UU No 3 tahun 2022 tentang Ibukota Negara. Semua UU dimaksud tidak dikehendaki rakyat, tidak membela kepentingan rakyat, melainkan hanya membela kepentingan oligarki.
Dalam kesempatan yang baik tersebut, penulis juga berikan perbandingan hierarki sumber hukum Islam yang terdiri dari Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ Sahabat, Dan Qiyas. Sementara, hierarki sumber hukum yang diadopsi negeri ini berasal dari UUD, TAP MPR, UU/PERPPU, PP, PERPRES, hingga PERDA baik ditingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota (Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011).
Saat penulis menjelaskan kedudukan Ijma’ Sahabat sebagai dalil (sumber hukum), berbeda dengan ijma’ diluar Ijma’ sahabat yang hanya berkedudukan sebagai Ijtihad, ada jamaah yang mempertanyakan dan menganggapnya sebagai pembahasan yang Khilafiyah. Alhamdulillah, dalam sesi tanya jawab penulis dapat menjelaskan ulang sehingga dapat dipahami dengan baik maksudnya.
Kedua, adanya kriminalisasi dan diskriminasi dalam proses penegakan hukum dan perundang-undangan yang dilakukan oleh institusi kepolisian. Sejumlah aktivis dan ulama yang menyampaikan pendapat, berdakwah amar Ma’ruf nahi mungkar, dipidanakan. Padahal, semua yang dilakukan oleh aktivis dan ulama adalah menjalankan hak konstitusional, berupa hak berpendapat dan menjalankan ibadat sebagaimana diatur dalam pasal 28 dan 28 UUD 1945.
Diskriminasi terkonfirmasi dari proses hukum yang hanya menjerat kelompok yang kritis terhadap rezim Jokowi, namun membiarkan gerombolan Ade Armando, Abu Janda, Deny Siregar dll, bebas berkeliaran meskipun selalu menistakan agama Islam. Kriminalisasi dan diskriminasi juga terbaca pada kasus Habib Rizieq Shihab dan Habib Bahar Bin Smith, dan sejumlah aktivis yang kontra terhadap rezim.
Kasus yang dialami KH Heru Elyasa, Ali Baharsyah, Gus Nur, Syahganda Nainggolan, Anton Permana, juga Bang Edy Mulyadi dan masih banyak nama lain, menjadi bukti adanya kriminalisasi dan diskriminasi hukum di negeri ini.
Ketiga, penguatan (legitimasi) kriminalisasi dan diskriminasi hukum melalui putusan pengadilan. Habib Rizieq Shihab mengabarkan kondisi kesehatannya, dituduh hoax dan divonis 4 tahun penjara. Tapi gerombolan perampok Jiwasraya justru lepas dari pidana.
Habib Rizieq Shihab divonis pidana dan membayar denda karena kasus kerumunan, sementara Jokowi, Gibran Rakabuming, Boby Nasution, semuanya bebas berkerumun. Tidak didenda, apalagi di penjara.
Semua itu membuktikan, palu pengadilan hanya menjadi alat legitimasi kezaliman. Alat legitimasi kriminalisasi dan diskriminasi hukum.
Dalam konteks rusaknya hukum itulah, penulis menyampaikan firman Allah SWT :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”
(QS Al Maidah : 50).
Dalam kesempatan tersebut, penulis juga menyampaikan pentingnya menolong sesama saudara muslim yang dizalimi. Tidak boleh berdiam diri, hanya karena kezaliman itu tidak menimpa dirinya.
Kasus KM 50 dan Wadas, adalah dua kasus kongkrit yang menjadi bukti kezaliman rezim. Karena itu, segenap umat Islam harus melawannya.
Terakhir, dalam kesempatan tersebut, penulis menawarkan konsepsi syariah yang diterapkan melalui institusi Khilafah, sebagai solusi terhadap berbagai problematika yang mendera bangsa Indonesia, baik di bidang hukum, politik, sosial, pendidikan, keamanan, ekonomi, dan lain sebagainya. Acara kemudian ditutup dengan do’a penuh kekhusyu’an oleh Al Mukarram KH. Ali Salim, ulama kharismatik Pamekasan-Madura.
Kepada segenap tokoh dan ulama di Madura, melalui tulisan ini penulis tawarkan agar dapat menjadi seperti Suku Aus dan Khazraj, yang menolong dakwah Nabi Saw hingga Nabi Muhammad Saw mendapatkan kekuasaan di Madinah dan menerapkan sistem Islam di Madinah. Sistem Islam inilah, yang kemudian diwariskan kepada sahabat sebagai sistem Khilafah.
Semoga, Allah SWT menolong kita semua, mengokohkan kedudukan kita, yang menjalankan segala perintahnya. Allah SWT berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”