Dampak Krisis Ukraina Terhadap Eropa

Beberapa hari lalu, Rusia mengancam akan memutus pasokan gas ke Eropa, sebagai tanggapan atas sanksi internasional yang dijatuhkan padanya, menyusul operasi militer yang dilakukan di tetangganya Ukraina sejak 24 Februari lalu.

Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak, dalam pidato yang disiarkan televisi, mengkritik “tuduhan tak berdasar terhadap Rusia, pengenaan larangan terhadap Nord Stream 2”, mengacu pada keputusan Jerman untuk menghentikan proses pemberian izin jalur pipa kedua Gazprom, Nord Stream 2.

Novak menambahkan, “Kami berhak sepenuhnya mengambil keputusan serupa untuk melarang pemompaan gas (alam) melalui jalur pipa gas Nord Stream 1, yang hari ini volume mencapai maksimal 100 persen”.

Komentar:

Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar Rusia, menyumbang sekitar 37,3% dari perdagangan Rusia pada tahun 2020. Rusia merupakan mitra dagang terbesar kelima Uni Eropa. Rabobank dari Belanda percaya bahwa sanksi Barat yang dikenakan terhadap Rusia akan sangat mempengaruhi hubungan perdagangan antara Rusia dan Uni Eropa, terutama dengan tekad G7 dan Amerika Serikat untuk membatalkan status “negara yang paling disukai” yang diberikan kepada Rusia di bawah aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO – World Trade Organization).

Ini berarti bahwa Eropa akan dapat meningkatkan bea masuk atau menetapkan kuota pada impor Rusia. Pada saat Moskow menanggapi sanksi Barat dengan melarang ekspor lebih dari 200 produk Rusia ke luar negeri, yang akan berdampak negatif pada volume perdagangan di antara mereka.

Seperti diketahui, Rusia adalah pemasok energi terbesar ke Uni Eropa, karena menyumbang sekitar 40% dari impor gas alam Uni Eropa, dan hampir sepertiga dari impor minyaknya. Dengan dimulainya perang Ukraina, kekhawatiran Eropa makin besar tentang kemungkinan bahwa Rusia akan memutus pasokan disebabkan sanksi Barat yang dijatuhkan terhadap Moskow.

Meskipun aliran gas Rusia masih berlanjut ke pasar konsumsi meski terjadi krisis dan bersamaan dengan Eropa menjauhkan kemungkinan pengenaan sanksi pada sektor energi Rusia, harga energi telah meningkat mencapai rekor sejak awal perang. Yang mana dibuktikan dengan harga gas alam di Eropa mengalami kenaikan mencapai $3300 per 1000 meter kubik pada 7 Maret. Pada periode yang sama, harga minyak mentah Brent menembus level $127 per barel, sebelum kemudian turun menjadi mendekati $112 per barel. Peningkatan ini memberikan beban tambahan pada anggaran Eropa, karena banyak pemerintah Eropa baru-baru ini terpaksa mengalokasikan dana besar sebagai subsidi untuk keluarga, untuk menahan dampak dari harga energi yang tinggi.

Adapun masalah ancaman terhadap investasi Eropa, aset Eropa di Rusia berisiko disita atau dinasionalisasi karena krisis saat ini dan sanksi Barat. Perusahaan-perusahaan Eropa yang memutuskan untuk menghentikan bisnisnya di Rusia dapat kehilangan asetnya di pasar Rusia, yang dikonfirmasi oleh pihak Rusia baru-baru ini. Saldo investasi negara-negara Uni Eropa di pasar Rusia berjumlah sekitar 311,4 miliar Euro (setara dengan $340 miliar) hingga 2019. Sementara investasi Rusia di negara-negara Uni Eropa berjumlah sekitar 136 miliar Euro pada tahun yang sama.

Eropa juga kemungkinan besar akan kehilangan sebagian dari investasi keuangan tidak langsungnya di Rusia. Menurut Bank for International Settlements, ada sekitar $60 miliar yang terutang kepada bank-bank Uni Eropa yang menjadi kewajiban entitas-entitas Rusia, yang mana pihak Rusia dapat membekukan semua atau sebagian dari jumlah tersebut. Sementara pihak Eropa pemegang obligasi negara Ukraina mungkin juga terkena risiko default, mengingat volume obligasi ini mencapai 23 miliar dolar.

Adapun masalah kenaikan inflasi, tingkat inflasi di zona Euro telah mencapai sekitar 5,8% selama Februari 2022, level tertinggi dalam 20 tahun. Hal itu seiring harga-harga barang dan jasa di zona Euro yang terus meningkat akibat pandemi Corona. Dengan kenaikan lagi harga energi dan pangan akibat perang, diperkirakan inflasi di zona euro akan melebihi 6% selama bulan Maret. Sementara British National Institute for Economic and Social Research memperkirakan inflasi di zona euro mencapai 5,5% pada 2022 dan 2,1% pada 2023, naik dari prediksi sebelumnya masing-masing 3,1% untuk 2022 dan 1,3% untuk 2023, sedangkan tingkat inflasi di Kerajaan Inggris Raya diperkirakan mencapai sekitar 7% pada tahun 2022 dan 4,4% pada tahun 2023, naik dari prediksi Februari masing-masing sebesar 5,3% untuk 2022 dan 2,7% untuk 2023.

Ini adalah beberapa poin ekonomi akibat perang dan dampaknya terhadap Eropa. Bahkan ada kemungkinan dampak ini akan meningkat ke tingkat kritis jika perang berkepanjangan, bukan hanya karena terkurasnya Rusia saja, tetapi juga karena terkurasnya Eropa.

Ditulis oleh Hasan Hamdan

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/radio-broadcast/news-comment/80969.html

 

Share artikel ini: