Dalam Kegawatan Corona, Apakah Pemerintah Sekuler Meninggalkan Rakyatnya?
Oleh: Fajar Kurniawan (analisis Senior PKAD)
Untuk mencegah penularan yang lebih besar, sejumlah pihak telah mendesak pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan lockdown untuk menyikapi penyebaran virus corona yang semakin meluas. Namun Jokowi hingga kini menyatakan bahwa pemerintah belum akan memutuskan lockdown dalam menyikapi situasi saat ini.
Pada konferensi pers di Istana Bogor, Senin (16/3), Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah hingga saat ini belum berpikir menerapkan kebijakan membatasi akses keluar-masuk di wilayah tertentu, demi mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). “Sampai saat ini tidak ada kita berpikiran ke arah kebijakan lockdown,” kata Jokowi.
Memang, kata lockdown dalam waktu singkat menjadi pembahasan ramai di media sosial menyusul merebaknya wabah virus corona (Covid-19) di berbagai belahan dunia. Pilihan menutup akses sebuah wilayah melalui mekanisme lockdown. Menurut sebagian pihak pilihan ini terbaik untuk mengurangi resiko penularan virus corona adalah dengan memberikan waktu bagi masyarakat untuk melawan virus tersebut dari dalam tubuh mereka sendiri. Sementara di pihak lain menyatakan opsi penguncian wilayah melalui mekanisme lockdown/kuncitara belum sepenuhnya terbukti mengurangi sebaran virus corona pada sebuah negara.
Urgensi Pelayanan Kesehatan Gratis
Terlepas dari pro kontra kebijakan lockdown atau tidak. Hal yang urgen di bahas adalah totalitas dalam pelayanan kesehatan. Ini kebutuhan riil. Negara seharusnya bertanggungjawab menjauhkan segala aspek komersial pada sistem dan pelayanan kesehatan justru bertindak sebaliknya. Upaya tambal sulam, khususnya memasukan model pembiayaan ala asuransi kesehatan wajib ke dalam sistem kesehatan terbukti gagal dan semakin memperdalam kezoliman dan pengabaian hak publik. Pelayanan kesehatan gratis dari negara bagi kaum miskin meski dengan pelayanan ala kadarnya dipandang sebagai kebaikan pemerintah yang patut disyukuri publik.
Akibatnya hajat kesehatan miliaran orang di dunia hari ini terus dalam genggaman korporasi. Mulai dari korporasi asuransi kesehatan, rumah sakit, farmasi dan alat kedokteran hingga korporasi pendidikan kedokteran. Rumah sakit dan lembaga yang semestinya menjadi perpanjangan fungsi negara dalam memenuhi hak pelayanan kesehatan masyarakatpun steril dari aspek sosial. Sistem kesehatanpun menjadi industri yang hanya digerakkan oleh uang. Tidak heran harga pelayanan kesehatan terus melangit, akses masyarakat semakin sulit sementara diskriminasi menjadi aspek yang begitu menonjol.
Masyarakat tentu akan gembira ketika mereka memahami dan menyadari bahwa layanan kesehatan adalah hak rakyat, baik yang miskin maupun yang kaya tanpa terkecuali. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik dari negara dan pemerintah. Pemerintah juga memahami dan bertanggung jawab memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak pelayanan kesehatan publik, yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi siapapun tanpa membebani masyarakat dengan biaya sepeserpun.
Namun sekarang pemerintah telah menyerahkan tanggungjawab pentingnya, dalam hal pengelolaan dan pemenuhan hak-hak pelayanan kesehatan publik kepada lembaga bisnis keuangan BPJS Kesehatan. Bersamaan dengan itu, di tangan BPJS Kesehatan pelayanan kesehatan dikelola berdasarkan untung rugi, bukan pelayanan. Salah satu buktinya adalah keharusan membayar premi agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, yang tak jarang belum tentu bisa diperoleh. Di sinilah letak kedzaliman pemerintah terhadap puluhan juta jiwa penduduknya, yang semestinya negaralah yang terdepan dalam menghilangkan kezoliman tersebut.
Oleh karena itu, topik pembahasan yang seharusnya bukanlah naik tidaknya premi, tetapi apa yang semestinya menjadi tanggung jawab negara, apa yang menjadi hak publik dan bagaimana seharusnya negara hadir agar tanggungjawabnya tertunaikan dan di saat yang bersamaan hak-hak publik terhadap pelayanan kesehatan terpenuhi sebagaimana mestinya.
Renungan ‘Corona’
Hari ini corona menjadi wabah mematikan di tengah krisis pelayanan kesehatan dunia hari belum dapat teratasi. Rumah sakit, klinik pemerintah khususnya berkedudukan sebagai perpanjangan fungsi negara dalam memenuhi hajat kesehatan publik sehingga harus langsung di bawah pengelolaan negara.
Dalam pandangan Islam, negara dan pemerintah yang wajib berada di garda terdepan dalam pencegahan segala kebatilan dan kesengsaraan yang menimpa masyarakat. Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Sehingga dalam perspektif Islam, pemerintah seharusnya tidak boleh menggunakan konsep kapitalistik, termasuk asuransi kesehatan karena sudah sangat jelas kemudharatan yang ditimbulkannya. Terlebih lagi asuransi apapun jenis dan bentuknya adalah aqad batil, model perserikatan kapitalis yang diharamkan Islam. Bahkan mengambilnya dalah tindakan pengabaian terhadap Al-Quran dan As sunnah dan sekaligus bentuk perlawanan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Pemerintah harusnya memiliki visi jangka panjang untuk menghadapi bencana alam dan non alam. Menangani korban bencana dengan bertindak cepat, melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Menyediakan pengobatan gratis dan fasilitas yang layak agar korban tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Selain itu, negara juga melakukan mental recovery, dengan melibatkan alim ulama. Negara sendiri akan menyediakan alokasi anggaran untuk menghadapi bencana, bisa dari zakat, kekayaan milik umum, maupun yang lain. Dengan begitu, negara bisa bertindak cepat, tanpa harus menunggu uluran tangan masyarakat.[]