Dalalah yang Asli dan Dalalah yang Mengikuti

Soal:

Dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz I halaman 308 bahwa dalalah itu terbagi menjadi dalalah yang asli (dalâlah ashliyah) dan dalalah yang mengikuti (dalâlah tâbi’ah) … Tetapi dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz III halaman 129 bahwa dalalah itu terbagi menjadi manthûq dan mafhûm, dan bahwa al-manthûq terdiri dari dua bagian yakni al-muthâbaqah dan at-tadhâmmun; dan bahwa al-mafhûm yakni dalâlah al-iltizâm adalah beberapa jenis dan di antara jenis ini adalah dalâlah al-isyârah. Dan ketika menjelaskan dalâlah al-isyârah maka di antara contohnya adalah contoh yang sama yang disebutkan di asy-Syakhshiyah juz I sebagai contoh dalalah yang mengikuti (dalâlah tâbi’ah) menurut sebagian mereka. Ini menimbulkan suatu kerancuan seputar apa yang dinyatakan tentang pengklasifikasian yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz I dan juz III … Jadi apakah dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah) adalah al-manthûq dan dalalah yang mengikuti (ad-dalâlah at-tâbi’ah) adalah al-mafhûm? Atau bahwa pembagian dalâlah itu masing-masing memiliki aspek yang digunakan di situ? Dan apakah pembagian dalâlah ini dalam berbagai waktu yang sama atau berbeda? Dan semoga Allah memberi Anda balasan yang lebih baik.

[Yeni Camii]

Jawab:

1- Topik yang Anda tanyakan adalah di buku asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah juz I telah dijelaskan sepenuhnya makna dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah) dan dalalah yang mengikuti (ad-dalâlah at-tâbi’ah). Buku itu mengatakan di halaman 305-307 file word bab Hâjah al-Ummah al-Yawm ilâ Mufassirîn:

[Adapun realita al-Quran dari sisi kosa katanya maka kita saksikan di dalamnya kosa kata yang terhadapnya berlaku makna linguistik secara haqîqah dan makna linguistik secara majâz. Dan kadang penggunaan makna linguistik dan secara majaz itu tetap bertahan secara bersama-sama, dan makna yang dikehendaki diketahui melalui indikasi (qarînah) dalam semua susunan kalimat (tarkîb). Kadang kala makna linguistik terlupakan dan makna secara majaz bertahan sehingga makna secara majaz itu menjadi yang dimaksudkan, bukan makna linguistiknya. Dan kita saksikan di dalamnya ada kosa kata yang terhadapnya berlaku makna linguistik saja, dan tidak digunakan dalam makna secara majaz, dikarenakan tidak adanya satu indikasi yang mengalihkannya dari makna linguistiknya. Dan di dalamnya ada kosa kata yang terhadapnya berlaku makna linguistik dan juga berlaku makna syar’iy baru yang berbeda dengan makna linguistik secara haqîqah dan berbeda dengan makna linguistik secara majaz, dan digunakan dalam makna linguistik dan makna syar’iy dalam ayat-ayat yang berbeda. Dan yang menentukan makna mana yang dikehendaki dari kedua makna itu adalah susunan kalimat (tarkîb) ayat. Atau terhadapnya berlaku makna syar’iy saja, dan tidak digunakan dalam makna linguistiknya. Misalnya, kata qaryah, digunakan dalam makna linguistiknya saja. Allah SWT berfirman:

﴿حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا﴾

“Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu” (TQS al-Kahfi [18]: 77).

﴿أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ﴾

“keluarkanlah kami dari negeri ini “ (TQS an-Nisa’ [4]: 75).

Dan digunakan dengan makna majazinya. Allah SWT berfirman:

﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا﴾

“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ” (TQS Yusuf [12]: 82).

Dan qaryah (negeri) tidak bisa ditanya tetapi yang dimaksudkan adalah penduduk negeri (ahlu al-qaryah), dan ini adalah makna secara majaz. Dan Allah SWT berfirman:

﴿وَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا﴾

“Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka” (TQS ath-Thalaq [65]: 8).

Yang dimaksudkan adalah penduduk negeri (ahlu al-qaryah) …  Dan semisal firman Allah SWT:

﴿أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى * عَبْداً إِذَا صَلَّى﴾

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika mengerjakan shalat” (TQS al-‘Alaq [96]: 10).

Yang dimaksudkan adalah makna syar’inya. Sedangkan firman Allah SWT:

﴿يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ﴾

“Mereka bershalawat untuk Nabi” (TQS al-Ahzab [33]: 56).

Yang dimaksudkan adalah makna linguistiknya yaitu doa. Dan semisal firman Allah SWT:

﴿فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ﴾

“Apabila telah ditunaikan shalat” (TQS al-Jumu’ah [62: 10).

Dan firman Allah SWT:

﴿يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ﴾

“Hai anakku, dirikanlah shalat” (TQS Luqman [31]: 17).

Dan semua ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan ash-shalâh, maka tidak digunakan kecuali dengan makna syar’iynya.

Ini dari sisi kosa kata. Adapun dari sisi at-tarâkîb (susunan kalimat), maka bahasa arab dari sisi merupakan lafal-lafal yang menunjukkan makna, dan jika kita memeriksa lafal-lafal ini dari sisi eksistensinya di dalam susunan kalimat, baik dari sisi maknanya secara sendiri di dalam susunan kalimat, atau dari sisi makna susunan kalimat secara keseluruhan, maka tidak keluar dari dua pandangan. Pertama, dipandang dari sisi keberadaannya sebagai lafal dan ungkapan yang bersifat mutlak yang menunjukkan makna bersifat mutlak, dan itu adalah dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah). Dan kedua, dari sisi keberadaannya sebagai lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan makna yang menbantu untuk lafal dan ungkapan yang bersifat mutlak, dan itu adalah dalalah yang mengikuti (ad-dalâlah at-tâbi’ah) ….

Adapun berkaitan untuk klasifikasi kedua, yaitu keberadaan susunan kalimat sebagai lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan makna yang membantu untuk lafal dan ungkapan bersifat mutlak, maka setiap informasi yang dikatakan di dalam kalimat mengharuskan penjelasan apa yang dimaksudkan di dalam kalimat tersebut berkaitan untuk informasi itu. Maka kalimat dibuat dalam bentuk yang memberikan maksud itu menurut orang yang menginformasikan, yang diinformasikan dan penginformasian itu sendiri, dalam kondisi keberadaannya dalam redaksi yang dengannya kalimat itu disusun, dan dalam jenis uslub baik uslub penjelasan (al-îdhâh), penyembunyian (al-ikhfâ`), peringkasan (al-îjâz), pemanjangan kalimat (al-ithnâb) dan lainnya. Anda katakan dalam awal penginformasian: Zaid berdiri (qâma zaydun), jika perhatiannya bukan pada orang yang diinformasikan tetapi pada informasi itu sendiri. Dan jika perhatiannya pada yang diinformasikan, Anda katakan zaydun qâma (Zaid berdiri). Dan dalam jawab soal atau pada posisi soal, Anda katakan “ inna zaydan qâma”. Sedangkan dalam jawaban terhadap orang yang mnengingkari Anda katakan: wallâhi inna zaydan qâma. Dan dalam penginformasian kepada orang yang memperkirakan berdirinya Zaid: qad qâma zaydun, dan perkara-perkara lainnya yang wajib diperhatikan di dalam teks-teks bahasa arab. Al-Qur’an datang memenuhi dua pandangan itu. Di dalam al-Qur’an datang lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang bersifat mutlak yang menunjukkan makna-makna yang bersifat mutlak. Dan di dalam al-Qur’an juga datang lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang bersifat terbatas (al-muqayyad) yang menunjukkan makna-makna yang membantu untuk makna-makna yang bersifat mutlak, dan ada berbagai sisi balâghah. Di antara hal yang diperhatikan di dalamnya adalah adanya makna-makna yang membantu (al-ma’âniy al-khâdimah) yang merupakan dalalah yang mengikuti (ad-dalâlah at-tâbi’ah), yang paling menakjubkan adalah ayat-ayat atau bagian-bagian ayat yang diulang-ulang di dalam al-Qur’an dalam satu surat atau di beberapa surat berbeda, dan demikian juga kisah-kisah dan kalimat-kalimat yang diulang-ulang di dalam al-Qur’an, dan apa yang datang di dalam al-Qur’an berupa dikedepankannya subyek (al-mahmûl) terhadap topik (al-mawdhû’), dan penegasan (at-ta`kîd) dengan berbagai jenis penegasan atau dengan satu jenis penegasan menurut susunan kalimat, dan pertanyaan untuk mengingkari (al-istifhâm al-istinkâriy) dan yang lainnya, di antara hal-hal yang mengandung jenis tertinggi dalalah yang mengikuti. Anda dapati ayat atau bagian ayat atau kalimat atau kisah, datang dalam susunan menurut satu cara dalam beberapa surat, dan datang menurut cara lainnya di surat lainnya, dan datang menurut cara ketiga di tempat lainnya, dan begitulah … Dan Anda tidak menemukan ungkapan yang melenceng dari posisi aslinya seperti didahulukannya al-khabar atas al-mubtada’, penegasan khabar (ta`kîd al-khabar), cukup menyebutkan sebagian dari sebagian lainnya yang biasanya disebutkan, dan yang lainnya. Anta tidak temukan itu, kecuali Anda temukan titik retoris untuk mengadakan makna yang melayani makna-makna yang bersifat mutlak yang dikandungi oleh lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan di dalam ayat-ayat tersebut], selesai.

2- Seperti yang Anda lihat, dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah) adalah dalalah yang dipandang dari sisi keberadaannya sebagai lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan makna-makna yang bersifat mutlak, dan itu adalah dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah). Yakni dalalah lafal menurut uslub-uslub bahasa berupa pendahuluan (taqdîm) dan pengakhiran (ta`khîr), pemanjangan kalimat (ithnâb) dan peringkasan (îjâz), hakikat dan majaz … dan sebagainya. Itu dengan ungkapan lain adalah manthûq an-nash. Manthuq seperti yang dinyatakan di asy-Syakhshiyah juz III halaman 180 adalah dalalah seruan (dalâlah al-khithâb) terhadap hukum jika berasal dari lafal maka itu merupakan dalalah manthuq (dalâlah al-manthûq), dan jika dari makna yang ditunjukkan oleh lafal maka merupakan dalalah mafhum (dalâlah al-mafhûm). Manthuq adalah apa yang ditunjukkan oleh lafal secara qath’i dalam posisi pengucapan, yakni apa yang dipahami dari lafal secara langsung tanpa perantara dan kemungkinan … seperti wajibnya puasa Ramadhan yang dipahami dari firman Allah SWT:

﴿فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ﴾

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (TQS al-Baqarah [2]: 185).

Hal itu karena lafal tersebut melalui manthuqnya menunjukkan makna tersebut. Dan itu yang disebut dalalah verbal (ad-dalâlah al-lafzhiyah). Apa yang ditunjukkan oleh lafal secara muthâbaqah atau tadhammun adalah manthuq (al-manthûq), bukan yang dipahami dari susunan ucapan. Hal itu karena lafal itu menurut ad-dâl saja terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: al-muthâbaqah, at-tadhammun dan al-iltizâm. Dalalah lafal terhadap keutuhan maknanya adalah muthâbaqah dan itu termasuk manthuq. Dan dalalah lafal terhadap sebagian apa yang disebutkan adalah tadhammun dan itu juga termasuk manthuq. Dan jika seruan menunjukkan hukum melalui manthuqnya, maka pertama-tama dibawa kepada hakikat syar’iyah, seperti sabda Rasul saw:

«لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ»

“Tidak termasuk kebaikan berpuasa dalam perjalanan (safar)” (HR Ahmad).

Jadi dibawa kepada makna puasa secara syar’iy bukan secara bahasa. Hal itu karena Nabi saw diutus untuk menjelaskan perkara-perkara syar’iyah. Dan jika lafal itu bukan hakikat syar’iyah atau tidak mungkin dibawa kepada hakikat syar’iyah, maka dibawa kepada makna konvensional (haqîqat ‘urfiyah) yang ada pada masa Nabi saw, sebab itulah yang terlintas kepada pemahaman dan karena syara’ menilai urf dalam banyak hukum seperti iman. Dan jika terhalang membawanya kepada hakikat syar’iyah dan kepada hakikat ‘urfiyah yang ada pada zaman Rasul saw, maka dibawa kepada makna secara bahasa (al-haqîqah al-lughawiyah). Nas-nas syar’iyah merupakan lafal-lafal tasyri’iyah. Dia datang untuk menjelaskan syariah islamiyah, sehingga yang ada dalam dalalahnya adalah makna syar’iy, kemudian makna konvensi (ma’na ‘urfiy), kemudian makna secara bahasa (ma’na lughawiy). Ini jika banyak penggunaan secara syar’iy dan urf yang mana salah satunya menjadi lebih dahulu dari makna secara bahasa. Dan jika tidak demikian maka merupakan lafal musytarak yang tidak dirajihkan maknanya kecuali dengan indikasi (qarînah). Dan jika ketiga makna hakiki itu terhalang maka dibawa kepada majaz, untuk menjaga ucapan dari pengabaian …”.

3- Begitulah, Anda lihat bahwa dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah) adalah dalalah manthuq (dalâlah al-manthûq) dan keduanya berarti dalalah lafal. Dalalah seruan terhadap hukum jika berasal dari lafal maka merupakan dalalah manthuq. Dan dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah) adalah dalalah yang dilihat padanya dari sisi keberadaanya sebagai lafal dan ungkapan yang bersifat mutlak yang menunjukkan kepada makna yang bersifat mutlak, dan itu adalah dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah). Dan jadilah dalalah yang mengikuti (ad-dalâlah at-tâbi’ah) adalah melayani dalalah yang asli, menjelaskannya dengan uslub yang luar biasa (uslûb badî’) yang menampakkan keagungan makna dan keagungan kalimat, yakni dia melayani manthuq menjelaskan dan memperjelasnya dari sisi hakikat dan majaz, pemanjangan kalimat (al-ithnâb) dan peringkasan (al-îjâz), pengedepanan (at-taqdîm) dan pengakhiran (at-ta`khîr), … dsb, yakni dengan semua hal yang menjelaskan makna dan menonjolkan (fenomena kefasihannya –mazhhar balâghah– dan kekuatan mengalahkannya –malâk i’jâz-) … Dan ini berarti bahwa dalalah yang mengikuti adalah penjelasan untuk manthuq, menegaskan hukumnya dan bukan untuk menjelaskan hukum yang lain. Jadi dia melayani dalalah yang asli yakni melayani manthuq untuk menjelaskan maknanya bukan untuk mengadakan hukum yang berbeda. Artinya bahwa dalalah yang mengikuti itu bukan mafhûm dan bukan termasuk jenis mafhûm … Manthuq adalah apa yang dipahami dari dalalah lafal. Adapun mafhum adalah apa yang dipahami dari madlul lafal yakni dari makna lafal, seperti firman Allah SWT:

﴿فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ﴾

“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (TQS al-Isra’ [17]: 23).

Dalalah lafalnya adalah jangan berkata “ah” kepada keduanya, dan itu adalah manthuq. Tetapi madlul lafal, yaitu larangan dari berkata “ah” itu, darinya dapat dipahami jangan memukul keduanya. Jadi mafhum firman Allah SWT:

﴿فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ﴾

“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (TQS al-Isra’ [17]: 23).

Mafhumnya adalah jangan memukul keduanya. Jadi pengharaman memukul kedua orang tua yang dipahami dari firman Allah SWT “falâ taqul lahuma uffin” itu ditunjukkan oleh mafhum ayat tersebut …”.

4- Perlu diketahui bahwa manthuq dan mafhum itu menjadi fokus para ulama ushul pada abad-abad pertama sejak masa asy-Syafi’iy (w. 204 H) sebagaimana yang dikatakan oleh al-Juwaini di dalam al-Burhân, dan menjadi berkembang pada abad kelima hijriyah khususnya menurut al-Juwaini imam al-Haramayn (w. 478 H) dalam bukunya al-Burhân fî Ushûl al-Fiqhi  dan al-Ghazali (w. 505 H) dalam bukunya al-Mustashfâ. Dan akan saya sebutkan sebagian yang dikatakan oleh al-Ghazali di dalam al-Mustashfâ:

[Halaman 25: bagian pertama tentang dalalah lafal terhadap makna.

Jenis pertama tentang as-sawâbiq, di dalamnya ada tiga bagian, bagian pertama: tentang dalalah lafal terhadap makna dan maksud darinya menjadi jelas dengan pengklasifikasian:

Klasifikasi pertama: bahwa dalalah lafal terhadap makna terbatas pada tiga sisi yaitu al-muthâbaqh, at-tadhammun dan al-iltizâm … dst.

– Di halaman 246: yang kelima: al-mafhûm dengan arti/maksud (fahwu) seperti pengharaman memukul bapak yang mana itu dipahami dari larangan berkata “ah”, dan itu qath’iy seperti nas, meski tidak bersandar kepada lafal. Dan yang kami maksudkan bukan lafal itu sendiri tetapi dalalahnya. Jadi setiap dalil sam’iy adalah pasti seperti nas. Dan mafhum itu menurut mereka yang mengatakannya adalah juga seperti manthuq, hingga jika dinyatakan nas bersifat umum dalam mewajibkan zakat pada domba kemudian asy-Syari’ bersabda:

«فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ»

“Dalam domba yang digembalakan ada zakat”.

Dikeluarkan domba yang diberi makan (al-ma`lûfah) -yakni tidak digembalakan-pent- dari mafhum lafal ini dari keumuman isim al-ghanam (domba) dan an-na’am (hewan ternak) … dst].

Kemudian diikuti oleh para ulama ushul. Al-mahshûl fî Ushûl al-Fiqhi oleh Ibnu al-‘Arabi (w. 543 H) dan al-Mahshûl oleh ar-Razi (w. 606 H), Rawdhah an-Nâzhir oleh Ibnu Qudamah (w. 620 H) lalu al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm oleh al-Amidi (w. 631 H) … kemudian para ulama ushul setelah itu.

5- Kemudian pembagian dalalah kepada dalalah yang asli (dalâlah ashliyah) dan dalalah yang mengikuti (dalâlah tâbi’ah), dan yang paling banyak memfokuskan terhadap perkara ini dan menjelaskannnya adalah imam asy-Syathibi (w. 790 H) dalam bukunya al-Muwâfaqât -juz I bab jenis-jenis makna lafal bahasa arab dan tingkatannya (bâb anwâ’i ma’ânîy al-‘arabiyah wa marâtibihâ) cetakan pertama 1417 H/1997 M (halaman 51-52) yang mana ia mengatakan:

[(3) Jenis-jenis makna lafal bahasa ‘arab dan tingkatannya … Dan di antara kebiasaan orang arab dalam seruan -sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syathibi- bahwa bahasa arab itu memiliki dua dalalah:

Pertama: dari sisi keberadaanya sebagai lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang bersifat mutlak yang menunjukkan makna yang bersifat mutlak…

Dan itu adalah dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah). Dan ini di dalamnya bersekutu semua lisan (bahasa). Dan kepadanya berakhir maksud-maksud orang yang berbicara, dan tidak dikhususkan dengan satu umat tanpa yang lainnya. Dan dia adalah yang memungkinkannya diterjemahkan kepada bahasa lain. Dan darinya sah tafsir al-Qur’an dan penjelasan maknanya untuk orang umum dan orang yang tidak memiliki pemahaman yang kuat untuk meraih makna-maknanya.

Kedua: dari sisi keberadaannya sebagai lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang dibatasi yang menunjukkan pada makna-makna yang melayani … dan itu adalah dalalah yang mengikuti (ad-dalâlah at-tâbi’ah) untuk dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah). Dalalah ini hanya khusus dengan bahasa arab … (“Dan setiap informasi (khabar) dalam aspek ini menuntut perkara-perkara yang melayani untuk hal itu menurut orang yang menginformasikan (al-mukhbir), yang diinformasikan (al-mukhbar ‘anhu), yang diberi informasi (al-mukhbar bihi) dan penginformasian (al-ikhbâr) itu sendiri, dalam keadaan (al-hâl) dan susunan (al-musâq), jenis uslub berupa penjelasan (al-îdhâh) dan penyembunyian (al-ikhfâ`), peringkasan (al-îjâz) dan pemanjangan kalimat (al-ithnâb), dan menurut kiasan tentangnya (al-kinâyah ‘anhu), pernyataan gamblang dengannya (at-tashrîh bihi), dan menurut apa yang dimaksudkan dalam susunan penginformasian dan apa yang diberikan sesuai keadaan … dan perkara-perkara lainnya yang tidak mungkin dibatasi. Semisal tindakan ini yang dengannya makna satu ucapan berbeda, bukanlah maksud yang asli, tetapi termasuk yang melengkapi dan menyempurnakannya. Dan dengan panjangnya al-bâ’i dalam jenis ini, susunan ucapan menjadi baik jika di situ tidak ada yang mengingkari”) … Dia menambahkan tentang dalalah yang kedua ini: (“dan dalalah ini adalah apa yang dibahas di dalam ilmu al-balâghah dan para ahli balaghah menyebutnya “al-mustatabi’ât at-tarâkîb”, dan itu merupakan kekhususan susunan yang dengannya tingkatan ucapan menjadi tinggi. Dan jika al-Qur’an sebagai lafal-lafal bahasa memiliki dalalah yang asli dan yang lain adalah dalalah yang mengikuti (dia adalah penampakan balagahnya dan kekuatan kemukjizatannya). Penerjemahannya dengan memandang kepada makna sekunder tidak lah mudah. Az-Zamakhsyari mengatakan di al-Kasyâf: “sesungguhnya ucapan bahasa arab -khususnya al-Qur’an- termasuk makna-makna yang halus (lathâ`if al-ma’âniy) yang lisan tidak independen menunaikannya”.  Adapun yang mungkin ditransformasikan ke bahasa lain adalah makna-makna yang asli, yang mana bahasa asing tidak kurang dari menunaikannya. Ini apa yang ditetapkan oleh asy-Syathibi dalam masalah penerjemahan al-Qur’an…)] selesai.

6- Penting untuk disebutkan bahwa masalah ini diperselisihkan di antara para ulama ushul. Di antara mereka ada yang mengatakan semisal apa yang kami sebutkan bahwa dalalah yang mengikuti tidak mendatangkan hukum baru, melainkan melayani dengan menjelaskan dalalah yang asli. Dan di antara mereka ada yang menjadikan dalalah yang mengikuti itu termasuk dari al-mafhûm dan khususnya dalâlah al-isyârah semisal masa hamil paling pendek … dst. Kami telah menjelaskan, dalâlah al-isyârah adalah termasuk jenis al-mafhûm di dalam asy-Syakhshiyah juz III halaman 186. Kami katakan:

[Dalâlah al-isyârah: dalâlah al-isyârah adalah bahwa ucapan itu disusun untuk menjelaskan satu hukum atau menunjukkan satu hukum, tetapi darinya dipahami hukum yang lain yang berbeda dengan hukum yang ucapan itu disusun untuk menjelaskannya atau ucapan itu datang untuk menunjukkan padanya, seraya bahwa hukum yang lain itu tidak dimaksudkan dari ucapan tersebut. Dalâlah ucapan terhadap hukum ini yang ucapan tersebut tidak disusun untuknya dan tidak menunjukkan atasnya, tetapi itu dipahami darinya, adalah dalâlah al-isyârah. Misal adalah dalâlah gabungan firman Allah SWT:

﴿وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً﴾

“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (TQS al-Ahqaf [46]: 15).

Dan firman Allah SWT:

﴿وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ﴾

“dan menyapihnya dalam dua tahun” (TQS Luqman [31]: 14).

Menunjukkan bahwa masa minimal kehamilan adalah enam bulan, meski hal itu tidak dimaksudkan dari lafal itu. Demikian juga firman Allah SWT:

﴿فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ﴾

“Maka sekarang campurilah mereka” (TQS al-Baqarah [2]: 187).

Memperbolehkan mencampuri isteri sampai terbit fajar dengan firman Allah SWT:

﴿حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ﴾

“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (TQS al-Baqarah [2]: 187).

Penjelasan hal itu adalah yang menjadi maksud. Meski demikian, kelaziman darinya bahwa orang yang mencampuri isterinya di malam Ramadhan dan memasuki waktu subuh dalam keadaan junub maka puasanya tidak rusak, sebab orang yang mencampuri isterinya di akhir malam niscaya terlambat mandinya sampai telah terbit fajar …].

Asy-Syathibi menegaskan bahwa ada ulama dalalah yang asli dan yang mengikuti yang mengatakan ucapan ini, yakni bahwa dalalah yang mengikuti adalah dalâlah al-isyârah, dan dia menyebutkan conoth-contoh yang sama dengan yang kami sebutkan untuk dalâlah al-isyârah. Asy-Syathibi mengatakan di al-Muwâfaqât (2/151-154) menjelaskan perbedaan dalam dalalah yang mengikuti di bawah judul “Masalah kelima (al-mas`alah al-khâmisah)”, ia mengatakan:

[Jika telah ditetapkan bahwa ucapan itu dari sisi dalalahnya terhadap makna memiliki dua patokan dari sisi dalalahnya terhadap makna yang asli dan dari sisi dalalahnya terhadap makna yang mengikuti yang merupakan yang melayani untuk yang asli, maka termasuk hal wajib untuk memperhatikan aspek yang darinya dipahami hukum dan apakah hanya dikhususkan dengan sisi makna yang asli atau mencakup kedua jenis makna itu sekaligus.

Adapun sisi makna yang asli maka tidak ada keraguan dalam kesahihan penilaiannya dalam dalalah terhadap hukum secara mutlak dan tidak ada perbedaan sama sekali … Adapun sisi makna yang mengikuti apakah sah penilaiannya dalam dalalah atas hukum dari sisi darinya dipahami makna-makna tambahan terhadap makna yang asli atau tidak sah, ini merupakan obyek keraguan dan masing-masing dari kedua pihak memiliki suatu aspek pandangan:

Orang yang menilainya sah berdalil dengan berbagai aspek …

Dan kedua bahwa istidlal dengan syariah atas hukum tidak lain adalah dari sisi keberadaannya sebagai bahasa arab bukan dari sisi keberadaannya sebagai ucapan saja. Penilaian ini mencakup apa yang ditunjukkan dengan sisi pertama dan apa yang ditunjukkan dengan sisi kedua ..  Maka pengkususan dalalah yang pertamna atas hukum tanpa dalalah yang kedua, merupakan pengkhususan tanpa hal yang mengkhususkan (takhsîsh min ghayri mukhashshish) dan pentarjihan tanpa sesuatu yang merajihkan (tarjîh min ghayri murajjih) dan yang demikian itu semuanya batil. Jadi bukan dalalah yang pertama itu lebih utama untuk dalalah dari yang kedua, maka penilaian keduanya sekaligus adalah yang ditetapkan …

Dan yang ketiga bahwa para ulama telah mempertimbangkannya dan berdalil atas hukum dari sisinya dalam banyak topik:

Mereka berdalil atas bahwa masa haid paling banyak adalah lima belas hari dengan sabda Rasul saw:

«تَمْكُثُ إحْدَاكُنَّ شَطْرَ دَهْرِهَا لَا تُصَلِّي»

“Salah seorang kalian berdiam setengah usianya tidak shalat”.

Dan maksudnya adalah menginformasikan kurangnya agama bukan menginformasikan masa haid maksimum, tetapi al-mubâlighah mengharuskan penyebutan hal itu dan seandainya terbayang tambahan niscaya menyakiti wanita.

Dan seperti istidlal mereka bahwa ukuran minimal masa kehamilan adalah enam bulan, diambil dari firman Allah SWT:

﴿وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً﴾

“Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (TQS al-Ahqaf [46]: 15).

Dengan firman Allah SWT:

﴿وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ﴾

“dan menyapihnya dalam dua tahun” (TQS Luqman [31]: 14).

Yang dimaksudkan di dalam ayat pertama adalah menjelaskan jangka waktu kedua perkara itu sekaligus tanpa rincian, kemudian di ayat kedua dijelaskan jangka waktu penyapihan sebagai yang dimaksudkan, dan ayat itu diam dari menjelaskan jangka waktu kehamilan saja, yaitu tidak dimaksudkan, dan tidak menyebutkan jangka waktu untuk kehamilan itu, dan kelaziman dari hal itu bahwa masa kehamilan minimal adalah enam bulan.

Mereka mengatakan tentang firman Allah SWT:

﴿فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ﴾

“Maka sekarang campurilah mereka” (TQS al-Baqarah [2]: 187).

Sampai firman Allah SWT:

﴿حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ﴾

“hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (TQS al-Baqarah [2]: 187).

Bahwa itu menunjukkan bolehnya memasuki waktu subuh dalam keadaan junub dan sahnya puasanya karena bolehnya mencampuri isteri sampai terbit fajar mengharuskan hal itu meski tidak menjadi maksud penjelasan tersebut, karena itu menjadi kelaziman dari maksud penjelasan bolehnya mencampuri isteri, makan dan minum …

Dan orang yang menghalangi juga berdalil dengan beberapa sisi:

Pertama, bahwa sisi ini tidak lain adalah menurut hipotesa melayani dalalah yang pertama dan mengikutinya. Jadi dalalahnya terhadap makna tidak lain dari sisi bahwa itu menegaskan yang pertama, menguatkannya dan menjelaskan maknanya, mengena kepada pendengaran menguatkan penerimaan dan mengena akal menguatkan pemahaman …

Dan sebagaimana kami katakan dalam semacam:

﴿وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا﴾

“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ” (TQS Yusuf [12]: 82).

Sesungguhnya yang dimaksud adalah bertanya kepada penduduk negeri tetapi lafal negeri (al-qaryah) dijadikan pihak yang ditanya sebagai hiperbola dalam pemenuhan pertanyaan, dan selain itu di atas penyandaran pertanyaan kepada negeri itu tidak dibangun hukum …

Dan ketiga, bahwa posisi sisi ini bahwa dia adalah mengikuti yang pertama, mengharuskan bahwa makna yang diantarkannya tidak boleh diambil kecuali dari sisi itu, seandainya boleh mengambilnya dari yang lainnya, niscaya keluar dari posisinya dan yang demikian itu tidak benar. Dan dalalahnya terhadap hukum tambahan atas apa yang ada di yang pertama adalah keluar (menyimpang) dari keberadaannya sebagai mengikuti yang pertama sehingga pemberian faedah hukum dari sisinya tidak menurut pemahaman orang arab dan yang demikian tidak benar …

Adapun masa haid maka kami tidak menerima bahwa hadis tersebut menunjukkan atasnya, dan di situ ada perbedaan pendapat. Oleh karenanya hanafiyah mengatakan bahwa maksimalnya adalah lima belas hari dan jika diterima maka hal itu bukan dari sisi dalalah lafal menurut penetapan dan di situ ada persoalan … Dan minimal masa kehamilan diambil dari sisi pertama (yakni dalâlah ashliyah) bukan dari sisi yang kedua (dalâlah tâbi’ah). Dan demikian juga masalah memasuki waktu subuh dalam kondisi junub, sebab tidak mungkin selain yang demikian.

Begitulah, semua yang diasumsikannya dalam bab ini. Walhasil, bahwa istidlal dengan sisi kedua atas hukum tidak terbukti sehingga tidak sah penggunaannya sama sekali …

Jadi yang shawab adalah pendapat yang melarang secara mutlak, wallâh a’lam] Artinya bahwa asy-Syathibi tidak mengambil pendapat kelompok pertama tetapi mengambil pendapat kelompok kedua. Tetapi dia menambahkan setelah itu:

[Fasal: telah jelas kontradiksi dalil-dalil dalam masalah tersebut dan tampak bahwa yang lebih kuat dari dua sisi itu adalah sisi yang melarang. Maka tuntutan keadaan bahwa sisi kedua, yaitu yang menunjukkan makna yang mengikuti, bukan dalalahnya terhadap hukum syar’iy tambahan sama sekali … Tetapi, di situ masih ada pandangan lainnya, yang boleh jadi dia memiliki dalalah terhadap makna-makna tambahan terhadap makna yang asli, dia adalah adab syar’iy dan akhlak yang baik yang diakui oleh setiap orang yang berakal sehat, sehingga dia memiliki pertimbangan dalam syariah. Jadi sisi kedua bukannya kosong dari dalalah secara keseluruhan …].

7- Ringkasnya adalah:

a- Dalalah yang asli (ad-dalâlah al-ashliyah) adalah al-manthûq dan keduanya (al-muthâbaqah dan at-tadhammun) yakni dalalah lafal. Jadi dalalah manthuq adalah dalalah seruan terhadap hukum, jika berasal dari lafal secara langsung pada posisi pengucapannya secara pasti … Dan dalalah yang asli adalah dari sisi keberadaannya berupa lafal-lafal dan ungkapan-ungkapan yang bersifat mutlak yang menunjukkan makna-makna yang bersifat mutlak… Jadi al-manthûq dan dalalah yang asli, keduanya merupakan dalalah dari lafal secara langsung ….

b- Dalalah yang mengikuti (ad-dalâlah at-tâbi’ah) adalah melayani manthuq dalam menjelaskannya melalui uslub badî’ yang menampakkan keagungan makna dan keagungan kalimat. Yakni dalalah yang mengikuti adalah melayani manthuq menjelaskan dan menerangkannya dari sisi hakikat dan majaz, pemanjangan kalimat dan peringkasan, pengedepanan dan pengakhiran, … dan sebagainya, yakni dengan semua yang menjelaskan makna dan menonjolkan (penampakan balaghah dan kekuatan kemukjizatan). Dan ini berarti bahwa dalalah yang mengikuti adalah penjelasan untuk manthuq menegaskan hukumnya dan bukan untuk menjelaskan hukum lain. Jadi dalalah yang mengikuti itu melayani dalalah yang asli, yakni melayani al-manthûq untuk menjelaskan maknanya dan bukan untuk mengadakan hukum yang berbeda. Dan dengan ungkapan lain, dalalah yang mengikuti bukanlah al-mafhûm dan bukan salah satu jenis al-mafhûm … bukan dalâlah al-isyârah dan bukan yang lainnya.

c- Perlu diketahui bahwa masalah ini ada perbedaan pendapat tentangnya di kalangan para ulama ushul. Di antara mereka ada yang mengatakan semisal apa yang kami sebutkan bahwa dalalah yang mengikuti tidak mendatangkan hukum baru, melainkan dia melayani menjelaskan dalalah yang asli. Dan di antara mereka ada yang menjadikan dalalah yang mengikuti termasuk al-mafhûm khususnya dalâlah al-isyârah, semisal masalah masa haid maksimal, masa kehaminan minimal, memasuki waktu subuh dalam keadaan junub … dan sebaginya sebagaimana yang dijelaskan di atas … hanya saja yang rajih menurut kami adalah apa yang kami sebutkan di atas.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

06 Sya’ban 1444 H

26 Februari 2023 M

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/87278.html

 

Share artikel ini: