Mediaumat.news – Talkshow Bedah Tabloid Media Umat edisi 216 telah diselenggarakan pada hari Ahad (25/3) bertempat di Aula Gedung Ormas Islam Kabupaten Bandung. Sekitar tiga ratusan hadirin yang terdiri dari berbagai kalangan diantaranya ulama, tokoh masyarakat, dan masyarakat umum memenuhi undangan untuk menyimak pemaparan para pemateri yang membahas head line “Dakwah Difitnah”.
Tabloid terbitan Pusat Kajian Islam dan Peradaban yang berkantor pusat di Jakarta tersebut, pada kali ini menghadirkan tiga orang pembicara sebagai nara sumber yaitu Ustadz Abdul Barr Ats-Tsaqafi sebagai peneliti dari Raudhah Tsaqafiyyah Jawa Barat, kemudian hadir pula Chanda Purna Irawan, M.H. sebagai Ketua Eksekutif Nasional Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), serta Ustadz Muchtar Nasier sebagai Tokoh Ulama dari Kabupaten Bandung.
Dalam kalimat pembukanya Riski Ramdani, S.Kom. sebagai host pemandu acara menyampaikan bahwa saat ini Umat Islam di berbagai belahan dunia tengah menghadapi berbagai kondisi akhir zaman termasuk diantaranya fitnah terhadap aktivitas dakwah yang trennya makin meningkat.
Menganggapi kondisi ini Ustadz Abdul Barr Ats-Tsaqafi menegaskan bahwa hukum dakwah adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim, adapun dakwah berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Namun kemudian para ulama menjelaskan fardhu kifayah ini akan berubah menjadi fadhu ‘ain ketika jamaah dakwah tersebut belum berhasil mewujudkan tujuannya. Selanjutnya Ustadz pengasuh Kajian Bahasa Arab Metode Mu’allim se-Bandung Raya ini menyampaikan sebuah hadits riwayat Imam At-Tirmidzi, “Bahwa akan datang suatu zaman kesabaran di tengah-tengah kalian dimana memegang agama bagaikan memegang bara api”. Artinya jika kita teguh dan bersabar menggenggam agama maka kita akan menghadapi berbagai hal seperti kriminalisasi, cemooh, fitnah bahkan dibunuh.
Ustadz Muchtar Nasier menyoroti fakta keseharian yang bisa dilihat dan dirasakan oleh beliau berkenaan dengan fitnah terhadap dakwah. “Ada empat perkara dakwah yang difitnah, yaitu: pertama fitnah terhadap simbol Islam meliputi Qur’an, Nabi, dan Bendera Tauhid; kedua fitnah terhadap ajaran Islam diantaranya terkait dengan pakaian, cadar, syariah, dan khilafah; ketiga fitnah terhadap ulama, ustadz, dan aktivis dakwah; keempat fitnah terhadap jamaah dakwah”, ujar Ustadz alumni Pondok Pesantren Cintawana Singaparna Tasikmalaya ini. Kemudian beliau meceritakan pengalamannya mengikuti undangan menghadiri sidang gugatan jamaah dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di PTUN Jakarta. “Saya sampai sekarang terngiang-ngiang atas tafsiran dari Prof. Dr. Yudian Wahyudi, pada Qur’an Surat Al-Baqarah 30 yang mengatakan bahwa khalifah tidak berhubungan dengan Islam tapi sekedar keahlian profesionalisme dan menang tanding. Saya tidak pernah menemukan ulama mu’tabar pun yang menafsirkan seperti itu”, lanjut pengasuh Majelis Kajian Tafsir Al-Abshor Banjaran Kabupaten Bandung ini.
Sesuai dengan kapasitasnya sebagai praktisi hukum Chandra Purna Irawan, M.H. menjelaskan bahwa sebagaimana hak warga negara maka setiap orang yang lahir di negeri ini memiliki hak yang dijamin oleh undang-undang dalam memiliki kebebasan berpendapat serta untuk berserikat dan berkumpul. Oleh karenanya aktivitas dakwah baik yang dilakukan secara pribadi ataupun berjamaah seharusnya dilindungi undang-undang. Adapun terkait untuk pengaturan perkumpulan sebenarnya dalam Undang-Undang Ormas yang lama yakni UU No 17 Tahun 2013 sudah mencukupi, namun kemudian pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang dijadikan dasar pencabutan SK Bahan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). “Tindakan seperti ini merupakan bentuk kediktatoran kostitusional karena telah menghilangkan proses hukum di pengadilan untuk melakukan pembuktian dan pembelaan”, tegas beliau.
Suasana talkshow yang berjalan hangat ini kemudian diselingi sesi open session untuk memberi kesempatan kepada para hadirin menyampaikan pertanyaan ataupun pernyataan. Sesekali terdengar juga keceriaan suara anak-anak yang turut hadir karena ikut dengan ayah dan ibunya. Selain itu tampak pula diantara para hadirin sosok-sosok remaja dan pemuda sebagai generasi terbaik yang akan melanjutkan aktivitas dan perjuangan dakwah Islam dengan penuh khidmat mengikuti acara hingga selesai.
Menjelang akhir acara, host memberi kesempatan kepada para pembiaca untuk menyampaikan closing statement. Ustadz Abdul Barr Ats-Tsaqafi memberikan motivasi tentang Syariah dan Khilafah sebagai ajaran Islam yang tidak hanya sekedar ajaran, tapi patut didakwahkan dan diperjuangkan sebagai upaya menyongsong janji Allah SWT dari isi Qur’an Surat An-Nur ayat 55 serta bisyarah Rasulullah SAW dalam hadits shahih riwayat Imam Ahmad, “… Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (khilafah yang berjalan di atas kenabian) …”. Ustadz Muchtar Nasier mengamini motivasi tersebut dan menegaskan bahwa kewajiban dakwah harus terus dijalankan baik oleh individu maupun secara berjamaah.
“Tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa Khilafah sebagai ajaran yang dilarang dalam Undang-Undang tentang Ormas yang baru (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017), karena yang dilarang adalah Marxisme, Leninisme, dan Komunisme. Oleh karena itu tidak perlu takut untuk menyuarakan Khilafah sebagai ajaran Islam”, ujar Chandra Purna Irawan, M.H. semakin menguatkan motivasi kepada hadirin untuk terus berdakwah.
Di penghujung acara host mengakhiri dengan ajakan untuk berjuang bersama mendakwahkan Syariah dan Khilafah sebagai ajaran Islam serta ditutup dengan doa yang disampaikan oleh Ustadz Muhammad Syukron Halim tokoh ulama dari Baleendah Kabupaten Bandung, agar Allah SWT memberi pertolongan atas jalan dakwah para ulama, asatidz, tokoh, aktivis yang ikhlas serta jamaah dakwah berjuang di jalan-Nya.
[NFL-ARM]