Mediaumat.id – Pengakuan Muslim Swedia yang merasa seolah agamanya sering dianggap biang masalah dan penduduk Muslim seperti tak dianggap keberadaannya oleh pemerintah, menunjukkan bahwa slogan demokratis yang selama ini menggembar-gemborkan persamaan hak dan kewajiban warga negara hanya utopia.
“Terlebih bila negara tersebut menggembar-gemborkan sebagai negara demokratis yang katanya menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara, jadilah slogan tersebut hanya utopia,” tutur Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana kepada Mediaumat.id, Rabu (9/8/2023).
Menurutnya, karena slogan tersebut tidak sesuai dengan apa yang rezim Swedia gembar-gemborkan.
Budi menyebutkan, masalah serius yang sebenarnya ada pada pondasi negara. “Swedia adalah negara sekuler. Akan kompatibel dengan masyarakat yang menganut nilai-nilai tersebut,” ungkapnya.
Sedangkan Islam, lanjutnya, adalah agama yang tidak memisahkan agama dengan kehidupan. “Sehingga dengan begitu maka problemnya bukan di kontribusi Muslim Swedia yang sudah nyata. Namun tuntutan integrasi sosial yang tentunya tidak mungkin bisa dipenuhi begitu saja oleh Muslim Swedia yang patuh terhadap agamanya,” bebernya.
Pragmatisme
Budi menyayangkan, sikap Turki yang dianggap oleh sebagian Muslim dunia sebagai representasi ‘negara Islam’ malah menerima Swedia sebagai anggota NATO tidak sampai sebulan setelah pembakaran Al-Qur’an.
“Pragmatisme Turki dalam menghadapi konstelasi politik di Eropa. Swedia adalah negara dengan kapabilitas yang besar untuk membangun balance of power dalam tubuh NATO. Keberadaannya diperlukan bagi Turki untuk memecah dominasi negara-negara konservatif NATO seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Jerman,” ungkapnya.
Ia melihat, Turki tidak menjadikan case (kasus) pembakaran Al-Qur’an di Swedia sebagai penghalang terhadap kepentingan politik yang lebih strategis di kawasan. “Sehingga posisi sebagai ‘representasi’ dunia Islam pun, tidak mendapatkan skala prioritas utama dalam kepentingan politik Turki di kawasan,” katanya.
Solusi
Budi mengingatkan, agar Islam dan kaum Muslim punya pembela yang signifikan, maka umat Islam harus membangun kekuatan politik yang berlandaskan kepentingan Islam dan Umat. Bukan berdasarkan prinsip-prinsip sekularisme ‘ala negara-negara Barat.
“Dengan begitu, maka pembelaan terhadap kepentingan Islam dan umat Islam menjadi jelas. Tidak akan tercampur aduk dengan kepentingan-kepentingan politik pragmatis sebagaimana yang ditunjukkan oleh negeri-negeri Muslim saat ini,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it