Ciri Penceramah Radikal Versi BNPT Berpotensi Menyesatkan dan Fitnah
Mediaumat.id – Analis Indonesia Justice Monitor Luthfi Afandi mengatakan, ciri-ciri penceramah radikal versi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berpotensi menyesatkan dan memunculkan fitnah.
“Ciri penceramah radikal versi BNPT atau versi pemerintah dan juga nanti bisa berpotensi menyesatkan (dan) malah memunculkan fitnah itu misalnya ketika narasinya ditambah,” ujar Luthfi dalam Kabar Petang: Di Balik Isu Penceramah Radikal, Senin (7/3/2022) di YouTube Khilafah News.
“Rilis tentang ciri-ciri penceramah radikal versi BNPT itu menurut saya mencerminkan pemerintah masih terindikasi atau paling tidak terpengaruh islamofobia,” imbuhnya.
Menurutnya, penjelasan tentang ciri-ciri penceramah radikal tersebut sangat berbahaya dan timbulkan masalah, karena narasi yang dilontarkan selalu menunjukkan agama. “Dalam konteks ini selalu Islam yang yang menjadi tertuduh. Kenapa tidak ditujukan pada partai politik? Misalnya, kenapa tidak ditujukan kepada para politisi busuk yang kemudian melakukan korupsi besar-besaran, gila-gilaan itu?” tanyanya.
Menurut Luthfi, hal itu juga perlu dipertanyakan. “Jadi kenapa yang selalu disudutkan itu adalah agama. Yang kedua, kenapa yang dicurigai sebagai radikal itulah ceramah agama? Kenapa objek itu ceramah agama gitu loh?” tegasnya.
Berdasarkan penelitian, ia menanyakan, bukannya yang menimbulkan aksi terorisme adalah gerakan separatisme di Papua? “Kenapa Islam, kenapa penceramah, kenapa? Karena definisi yang dibuat itu definisi sepihak versi BNPT atau paling tidak versi pemerintah,” katanya.
Sebagai contoh, ia menjelaskan, ustaz yang dikatakan radikal itu selalu bicara atau kemudian berbicara tentang khilafah. “Apa salahnya? Sementara kita tahu persis khilafah itu merupakan ajaran Islam warisan Rasulullah SAW dan dipraktikkan oleh para sahabat. Ya, apa salahnya khilafah itu sampai-sampai orang-orang yang menyampaikan ajaran tentang khilafah (dikatakan) sangat berbahaya dan menyesatkan,” paparnya.
Beberapa definisi yang diungkapkan BNPT, ia pertanyakan. Misalnya, memiliki paham takfiri yang kemudian mengkafirkan orang yang berbeda paham. “Bagaimana kalau memang misalnya Ahmadiyah yang memang jelas dalam Islam dihukumi kafir? Apakah juga enggak boleh?” jelasnya.
Ia menegaskan, dalam Islam, tidak boleh mengkafirkan saudara sesama Muslim, hanya saja jika itu jelas kekafirannya, apakah tidak boleh dikatakan kafir. “Kelompok Ahmadiyah misalnya, karena menganggap ada nabi setelah Nabi Muhammad. Ini juga apakah enggak boleh kita katakan mereka kafir?” ujarnya.
Ada tuduhan yang Luthfi ungkapkan lagi, yaitu bersikap eksklusif dan tidak menghargai pluralitas, dan tidak mau gabung dengan hal-hal yang sifatnya pluralitas. “Bagaimana dengan misalnya ketika orang tidak mau hadiri perayaan Natal sudah dikasih ciri eksklusif. Yang kemarin radikal, ketika diajak Natalan enggak mau,” katanya.
Ia mempertanyakan, mengapa yang tidak mau berbaur dengan budaya-budaya agama lain, langsung dicap anti budaya. “Apakah menolak budaya yang bertentangan dengan Islam itu dikatakan anti pemerintah itu sehat? Tetapi malah orang-orang yang melakukan kritik yang tujuannya menyampaikan untuk perbaikan dikatakan disebut anti pemerintah? Yang kemudian jadi ciri radikal?” tandasnya.[] Ika Mawarningtyas