Mediaumat.info – Kecenderungan arah politik parpol peserta pemilu pasca Pilpres 2024 menuju koalisi besar pendukung pemerintah, dinilai sebagai bagian dari ciri khas sistem demokrasi yakni tergantung arah angin politik (baca: keuntungan yang akan diperoleh).
“Memang ciri khas demokrasi itu sangat tergantung pada angin politik,” ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroki dalam Rubrik Dialogika bertajuk Konsolidasi Koalisi: Politik Dagang Sapi Harga Mati? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Ahad (21/4/2024).
Dengan kata lain, meski sebelum gelaran pesta demokrasi dimulai terdapat kumpulan parpol peserta pemilu masing-masing tergabung dalam Koalisi Perubahan (01) dan Koalisi Indonesia Bersatu (03) vs Koalisi Indonesia Maju (02), kini hampir seluruhnya cenderung merapat ke koalisi pemenang Pilpres 2024 dalam hal ini pasangan 02.
Artinya pula, sikap kompromistis memang melekat pada sebagian besar partai politik. “Mana yang diajak kompromi mau, mana yang tidak mau, ini akan terjadi (pada) oposisi-oposisi itu,” tandas Wahyudi.
Maka patut diduga kuat, berubahnya haluan sebuah parpol, yang sebelumnya mengaku sebagai oposisi yang lantas kemudian mendukung dan bergabung ke arah kekuasaan, di situ sebenarnya terdapat faktor kepentingan kelompok atau partai.
“Posisi check and balancing itu terjadi dalam proses kepentingan saja,” ungkapnya, yang berarti memosisikan diri sebagai oposan sebelumnya bukan untuk kepentingan rakyat tetapi agar bisa mendapatkan kompensasi berupa kue kekuasaan melalui politik dagang sapi misalnya.
Untuk dipahami, sikap-sikap politik tersebut sekaligus menunjukkan sifat asli dari demokrasi yang selain sekuler juga berorientasi hanya pada kekuasaan berikut upaya mempertahankannya dengan segala cara.
“Ini sebenarnya cerminan praktik demokrasi yang sesungguhnya itu begitu (sekuler),” tegasnya, menyinggung kekuasaan mendatang yang banyak dipandang sebagai bentuk nepotisme rezim saat ini.
Makanya ia tak heran ketika mendengar adagium di tengah masyarakat, bahwa untuk bisa menang pemilu tidaklah harus bekerja keras, tetapi cukup sekadar berbuat curang. “Seperti itulah yang terjadi,” tandasnya kembali.
Oposan Wajib Ada
Menurut Wahyudi, di seluruh bentuk sistem pemerintahan perlu adanya oposisi. Namun sayangnya aktivitas oposan di dalam sistem demokrasi dinilai sebagai hak di antara aktivitas politik lainnya. Padahal sebenarnya aktivitas mengawal, mengkritik terlebih mengoreksi kekuasaan ini adalah suatu kewajiban sebagaimana di dalam sistem Islam.
“Dalam pandangan Islam (aktivitas oposan) ini bukan hak tetapi kewajiban,” jelasnya, yang berarti harus ditunaikan agar tidak berdosa.
“Ini yang menjadikan praktik demokrasi yang buruk terjadi di negeri ini,” imbuhnya, sembari menyebut rezim yang menjalankan sistem pemerintahan demokrasi pun sama buruknya.
Karenanya, ia merasa perlu menyampaikan serta menawarkan kepada umat yang terkungkung di dalam kondisi politik saat ini, dengan sebuah sistem politik yang baik: yang datang dari Zat yang Mahabaik yaitu sistem politik Islam.
“Ada sistem pemerintahan Islam, sistem politik Islam yang bisa kita tawarkan untuk perbaikan dalam praktik pemerintahan,” lontarnya, sebagaimana dikenal dengan istilah sistem pemerintahan khilafah Islam yang mengikuti jalan kenabian berikut pemimpin yang disebut sebagai sebagai khalifah.
Pun demikian terhadap pihak oposisi di dalamnya ketika menjalankan fungsinya, harus sesuai dengan cara pandang Islam. “Tentu cara pandang koreksinya juga harus koreksi pandangan Islam, sehingga berpahala,” pungkasnya. [] Zainul Krian