Cinaisasi Natuna; Saat Kapitalisme Melumpuhkan “Macan Asia”
Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA)
Negeri Tirai Bambu tengah berulah. Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) menuturkan puluhan kapal nelayan China masih bebas berlayar di landas kontinen Indonesia di sekitar perairan Natuna, Kepulauan Riau. Direktur Operasi Laut Bakamla, Laksamana Pertama Nursyawal Embun, menuturkan kapal-kapal penangkap ikan itu juga dikawal oleh kapal penjaga pantai dan kapal perang China.
Nursyawal menuturkan, pihaknya telah berupaya melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal China tersebut dari sekitar zona eksklusif ekonomi (ZEE) Indonesia di Natuna sejak 10 Desember lalu. Ia juga menyatakan, kapal-kapal China itu sempat menuruti permintaan untuk menjauh dari perairan Indonesia. Namun, beberapa hari setelahnya kembali memasuki dan mengambil ikan di landas kontinen Indonesia di sekitar Natuna.
Akibat insiden ini, Indonesia-China kembali terlibat saling klaim wilayah perairan di sekitar Natuna. Jakarta menganggap kapal-kapal China tersebut telah menerobos wilayah ZEE Indonesia. Sementara Beijing mengklaim wilayah perairan dekat Natuna itu masih bagian dari Laut China Selatan yang menjadi kedaulatan mereka.
Kementerian Luar Negeri RI telah melayangkan nota protes kepada China terkait pelayaran kapal-kapal ikan Tiongkok tersebut dan memanggil duta besar Negeri Tirai Bambu di Jakarta. Indonesia juga menolak klaim historis China terhadap perairan di dekat Natuna.
ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB yang disahkan pada 1982. RRT sebagai pihak pada UNCLOS, harus menghormatinya.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Kemlu juga menegaskan Indonesia menolak istilah “perairan terkait atau relevant waters” yang digunakan China untuk merujuk pada wilayah di sekitar perairan yang mereka klaim di Laut China Selatan.
Menurut Kemlu, istilah “perairan terkait” tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Kemlu menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan RRT. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRT karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016.
Gurubesar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyatakan masalah Natuna Utara ini tidak dapat diselesaikan di meja perundingan mengingat China tidak mengakui ZEE Natuna Utara. Sementara itu Indonesia sendiri selama ini memang tidak mengakui klaim Traditional Fishing Right China.
Menurut Hikmahanto, seharusnya Menhan sebagai bagian dari pemerintah satu suara dengan Menlu, Retno Marsudi di Kantor Menko Polhukam. Bagi Hikmahanto, Indonesia harus mengambil langkah nyata dengan meningkatkan patroli di Natuna Utara. Indonesia juga harus menegakan hukum bila ada nelayan asing, termasuk nelayan asal China yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Terlebih, China sendiri malah nampak begitu arogan. Melalui juru bicara Menteri Luar Negerinya, Geng Shuang, pihak China secara tegas menentang negara mana pun, organisasi, atau individu yang menggunakan arbitrasi tidak sah untuk merugikan kepentingan China (02/01/2020).
China seolah tak peduli Indonesia menerima atau tidak terhadap klaim historisnya, yang penting China merasa berhak di situ. Jelas, sikap China tersebut sama dengan menginjak-injak kedaulatan wilayah negeri muslim terbesar di dunia ini.
Berdasarkan hal ini, sungguh ini adalah bukti ketamakan kapitalisme China. Atas dalih dan alasan historis, atau apa pun itu, China jelas punya kepentingan kapitalisme. Bagaimana tidak? Banyak pantai dan pulau yang masih “perawan” di Natuna yang super kaya dengan kandungan gas maupun minyak bumi. Menurut data Ditjen Migas Kementerian ESDM pada Januari 2016, Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di Indonesia, yakni mencapai 49,87 persen. Bahkan disebutkan oleh para ahli, cadangan gas alam Natuna ini adalah yang terbesar di dunia.
Belum lagi dengan potensi sumberdaya lautnya. Plt. Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono, mengatakan perairan Natuna menyimpan beragam potensi hasil laut, mulau dari cumi-cumi, lobster, kepiting, hingga rajungan.
Aryo mengungkapkan bahwa di perairan Natuna, cumi-cumi menjadi komoditas laut dengan potensi hasil paling banyak. Setidaknya ada 23.499 ton potensi cumi-cumi per tahun di Natuna. Selain itu, ada lobster, kepiting, hingga rajungan. Menurut data potensi per tahunnya lobster ada 1.421 ton, kepiting, 2.318 ton, dan rajungan 9.711 ton.
Sedangkan untuk komoditas perikanan tangkap potensial Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Potensi ikan pelagis Kabupaten Natuna mencapai 327.976 ton/tahun, dengan jumlah tangkapan yang dibolehkan sebesar 262.380,8 ton/tahun (80% dari potensi lestari).
Pada tahun 2014, tingkat pemanfaatan ikan pelagis hanya mencapai 99.037 atau 37.8% dari total jumlah tangkapan yang dibolehkan. Selebihnya yaitu sebesar 163.343,8 ton/tahun (62.25%) belum dimanfaatkan.
Kekayaan alam itulah yang membuat banyak kapal asing ilegal mengintai Natuna.
Inilah mengapa kaum muslimin, khususnya di Indonesia, memerlukan perisai politik yang sejati. Ini demi menjaga jengkal demi jengkal tanah negeri muslim terbesar di dunia ini. Agar negara-negara penjajah kapitalis itu tak seenaknya menciptakan alasan ideologis demi melanggar batas teritorial politik negeri-negeri muslim.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Imam al-Mala al-Qari secara gamblang menyatakan:
”Makna kalimat (إنما الإمام) yakni al-Khalifah atau Amirnya”
Kedudukan al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata, seperti penegasan beliau:
”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.”( ‘Ali bin Sulthan Muhammad Abu al-Hasan Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtiih Syarh Misykât al-Mashâbiih, juz VI, hlm. 2391).
Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”
Namun malangnya Indonesia, jangankan taring, penguasa malah seperti tak punya gigi untuk menjaga kedaulatan batas wilayah akibat terjerumus nominal utang kepada China. Jika sudah begini, posisi tawar politik Indonesia jelas lemah. Ironisnya, pihak penguasa dengan begitu enteng mengatakan “China adalah negara sahabat”. Ini benar-benar sudah sesat logika. Dalam keadaan seperti ini, coba lihat, ke mana para pegiat NKRI harga mati?
Memang sudah saatnya kaum muslimin memiliki penguasa sejati pembela negeri. Bukan penguasa oligarki, yang pastinya berpihak pada kepentingan kapitalisme semata-mata. Karenanya, negeri ini perlu ideologi sempurna yang jauh lebih berdaya dibandingkan Pancasila. Dan sebagai negeri muslim, kita tak usah ragu untuk kembali pada Islam selaku ideologi negara. Hanya dengan Islam, kehormatan politik negeri ini bisa diraih jauh melebihi cita-cita menjadi “Macan Asia”, yang saat ini seperti sedang dilumpuhkan oleh kapitalisasi China.[]