Cina Sebut Laut Natuna Bagian Wilayahnya, IMuNe: Klaim Sepihak dan Arogan

Mediaumat.id – Klaim Cina atas daerah pengeboran minyak dan gas di perairan Natuna sebagai bagian dari wilayahnya, dinilai Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara sebagai klaim sepihak dan arogan.

“Klaim Cina itu jelas sepihak yang berakar pada arogansi hegemoninya di Laut Cina Selatan (LCS),” tuturnya kepada Mediaumat.id, Rabu (8/12/2021).

Fika menilai, Cina bukan hanya merendahkan kedaulatan Indonesia tapi juga mengabaikan hukum laut internasional UNCLOS 1982 yang mengatur batas-batas maritim seperti Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen dan lainnya.

“Meski Indonesia adalah non-claimant state (bukan negara pengklaim) di LCS, tetapi ketegangan sudah terjadi sejak 2017 soal Laut Natuna Utara yang diklaim masuk territorial Cina, namun Indonesia menyatakan Laut Natuna Utara masuk ZEE, Indonesia. Cina sudah tahu betul sikap Indonesia soal sengketa teritorial di LCS, Indonesia sejak awal sudah menolak klaim Cina soal nine dash line yang tidak diakui oleh hukum internasional UNCLOS 1982,” ungkapnya.

Menurutnya, nine dash line adalah salah satu alasan mendasar dari konflik LCS. “Klaim sepihak Cina adalah ‘kedaulatan tak terbantahkan’ atas LCS. Jantung klaim ini adalah ‘nine dash line’ berbentuk U yang mencakup sebanyak 90 persen dari perairan LCS. Garis putus-putus ini diadopsi dari peta Tiongkok pada tahun 1940-an, dan mewakili klaim historis Cina atas laut dan semua fitur daratan yang terkandung di dalam garis tersebut. Cina menandatangani UNCLOS tetapi secara sengaja tidak pernah mendefinisikan makna hukum ‘sembilan garis putus-putus’,” jelasnya.

Fika mengatakan, kasus ini adalah konflik teritorial yakni masalah geopolitik klasik yang terus melanda dunia hari ini, dan negara-negara powerful biasa melakukan klaim sepihak atas teritorial mereka, meski harus menabrak rambu-rambu hukum internasional bahkan kedaulatan maritim negara lain. “Sementara negara-negara ASEAN hanya bisa mengutuk sambil menonton adu otot AS dan Cina di kawasan ini,” tandasnya.

Tak Layak Jadi Sahabat

Fika menilai Cina Indonesia sama sekali tidak layak menjadikan Cina sebagai negara sahabat. “Tapi Indonesia sudah terperangkap dalam hubungan asimetrik dengan Cina, sehingga Cina menjadi mitra dagang strategis dan bisa dengan mudah memengaruhi kemandirian politik bahkan kedaulatan teritorial Indonesia,” ujarnya.

Apalagi ada indikasi kuat Cina sedang mengincar kekayaan umat di Natuna Timur, menurutnya, hal ini terbukti belakangan kapal-kapal riset dan survei Cina sering mondar-mandir di area ini. “Blok migas Natuna Timur menyimpan cadangan gas sekitar 222 triliun kaki kubik, ini semakin membuat Cina agresif pada teritori Laut Natuna Utara,” ungkapnya.

Jika seperti ini, kata Fika, seharusnya ada sikap tegas dari Indonesia. “Cina sama sekali jauh dari layak sebagai negara sahabat, ini belum dihitung dosa terbesarnya yakni Muslim Uighur. Dalam kacamata hukum Islam tidak ada hubungan apa pun kecuali hubungan perang; dengan kualifikasi negara seperti ini – negara yang serakah, agresif dan tangannya berlumuran darah Muslim!” tegasnya.

Rezim Lemah

Fika menilai rezim ini lemah menghadapi Cina karena Indonesia tidak menganut politik luar negeri yang kuat. “Prinsip ‘bebas aktif’ nampaknya belum tercermin dalam kasus Natuna ini. Inkonsistensi dan ketidaktegasan justru terlihat lebih dominan dibanding sikap berani yang mencerminkan ‘kebebasan dan keaktifan’ dalam mewaspadai manuver Cina dan memberi manuver yang berimbang. Memang Indonesia sudah memiliki basis pertahanan di Natuna, dan terlihat mulai ada upaya latihan militer dan juga diplomasi. Tetapi tetap belum cukup untuk menghadapi arogansi Tiongkok,” bebernya.

Ia berharap, Indonesia sebagai bangsa Muslim seharusnya mulai mempertimbangkan hukum Islam sebagai prinsip politik luar negerinya. “Islam menentukan bahwa otoritas perbatasan wilayah ditentukan oleh dinamika penaklukan jihad Islam, dengan kata lain perbatasan negara itu ditentukan oleh darah para syuhada,” ujarnya.

Menurutnya, prinsip perbatasan ini bukan prinsip yang ahistoris bagi negeri ini, melainkan sudah dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa ini saat mengusir Portugis dari Selat Malaka atau Belanda dari pelabuhan Sunda Kelapa. “Ini menjadi fondasi historis transendental yang lebih kuat dibanding sekadar konvensi hukum internasional,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: